—TANGGAPAN ALKITABIAH TERHADAP NILAI
NILAI BUDAYA RAMBU SOLO’—
Oleh : Astri Kristiani, dkk.
I.
PENDAHULUAN
Indonesia
adalah sebuah Negara dengan ragam potensi wisata yang luarbiasa. Salah satu
potensi besar yang dimiliki adalah kekayaan adat dan budayanya. Ini adalah
sesuatu yang sedemikian banyak di Indonesia. Seberapa banyaknya itu, sama
dengan banyaknya jumlah suku suku bangsa yang tersebar di seluruh wilayah
Indonesia; dari Sabang sampai Merauke. Tentang berapa banyaknya jumlah suku
suku yang ada di Indonesia, Jawa Pos National Network (JPNN) menyatakan bahwa
keseluruhan masyarakat Indonesia terdiri dari 1.128 suku bangsa. Data ini
sesuai dengan hasil sensus terakhir Badan Pendataan dan Sesus Penduduk (BPS)
Indonesia tahun 2010. Berdasarkan jumlah itu, maka sangat tepat jika Indonesia
disebut sebagai satu Negara dengan potensi budaya yang sangat besar. Itulah
mengapa sejak lama Indonesia telah dijadikan sebagai Negara tujuan wisata oleh
para wisatawan yang datang dari hampir seluruh Negara di dunia. Mereka demikian
tertarik datang ke Indonesia, antara lain, karna ingin menyaksikan sendiri
kekayaan ragam budaya yang ada Indonesia. Salah satunya, mendatangi dan
menyaksikan kekayaan ragam budaya suku Toraja. Inilah salah satu suku yang
telah sejak lama ditetapkan sebagai tujuan wisata di antara sekian banyaknya
suku suku di Indonesia. Hal itu terlihat dari tingginya angka kunjungan wisata
turis mancanegara ke Tanah Toraja.
Suku
Toraja adalah suku yang berdiam di bagian Selatan wilayah Sulawesi. Selama
ratusan tahun, mereka telah tinggal dan berkembang di daerah yang kemudian
disebut juga “Tana Toraja”, sesuai dengan nama suku mereka. Sebagaimana suku
suku lainnya di Indonesia, suku Toraja juga memiliki banyak ragam adat dan
budaya yang secara ketat, masih terjaga dan menjiwai seluruh kehidupan
masyarakat suku ini. Diantara sekian banyaknya adat budaya di dalam suku ini,
budaya “Rambu Solo’” adalah yang paling sering menjadi perhatian. Hal itu bukan
saja karena memang menarik untuk disaksikan, tetapi juga karena demikian unik
untuk sesuatu yang masih tetap terpelihara di dalam jaman ini.
Pada
dasarnya, budaya merupakan warisan dari sekelompok masyarakat yang diajarkan
turun temurun kepada generasi selanjutnya. Didalamnya terkandung nilai-nilai
dan prinsip-prinsip yang dianut generasi sebelumnya dan mendasari perilaku yang
dianut kelompok tersebut. Demikian pula halnya dengan budaya Rambu Solo’. Di
dalam budaya ini, pastilah terdapat nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Nilai nilai tersebut adalah juga warisan dari leluhur yang diyakini sebagai
kepercayaan turun temurun dari masyarakat suku Toraja dari sejak dahulu.
Nilai
nilai itulah yang akan dibahas lebih jauh di dalam makalah ini. Sedapat
mungkin, semua nilai nilai yang terkandung dalam setiap tahap upacara pemakamam
Rambu Solo’ yang membuatnya begitu unik, akan dibicarakan disini. Dibagian
lain, akan juga dibicarakan tentang pandangan
orang Toraja masa kini mengenai signifikasi nilai nilai ritual tersebut serta
bagaimana pandangan Firman Allah terhadap kelanjutan pelaksanaan ritual ritual
tersebut. Bagian yang terkhir ini menjadi sangat penting, mengingat mayoritas
masyarakat suku Toraja, telah sejak lama juga menjadi penganut keyakinan
Kristen. Tentu saja dalam kurun waktu yang panjang, Firman Tuhan telah
berbicara kepada mereka. Perjumpaan antara Firman Tuhan dan ritual Rambu Solo’
adalah hal yang sangat menarik untuk dibicarakan.
II.
PEMAPARAN
FENOMENA BUDAYA RAMBU SOLO’
Rambu
Solo’ adalah upacara besar ritual kesukuan yang dilaksanakan setiap kali ada
anggota masyarakat Toraja yang meninggal dunia. Upacara ini tidak dilaksanakan
untuk semua anggota masyarakat suku Toraja. Umumnya, hal ini hanya dilaksanakan
terutama bagi anggota keturunan bangsawan. Kalaupun hal ini akan diberlakukan
kepada masyarakat umum, hal itu hanya terbatas kepada mereka yang memang
dipandang berkemampuan dalam hal ekonomi. Namun demikian, kalaupun itu bisa,
pelaksanaannya dilaksanakan dalam aturan yang berbeda dengan kaum bangsawan. Mengapa
demikian, oleh karena selain upacara pemakaman ini memang diperuntukan bagi
penghormatan kepada pemuka suku, upacara ini juga dilakukan untuk menyatakan
perbedaan derajat diantara anggota masyarakat suku Toraja. Dalam hal ini,
keturunan bangsawan tetaplah bangsawan meskipun secara ekonomi tidak mampu.
Sebaliknya, rakyat biasa, tetaplah rakyat biasa meskipun berkempauan ekonomi
sangat tinggi. Perbedaan diantara mereka akan terlihat jelas dalam proses
pelaksanaan seluruh tahapan upacara Rambu Solo’. Bagi orang Toraja, derajat
kebangsaan lebih penting daripada derajat kekayaan.
Dalam
pelaksanaan acaranya sendiri, upacara ini demikian rumit –bahkan oleh sementara
pengamat budaya, ritual ini dianggap sebagai ritual yang paling rumit di dunia dan
membutuhkan biaya yang sangat besar. Biaya yang dibutuhkan, antara puluhan
sampai ratusan juta. Jumlah itu bahkan dapat menyentuh angka miliaran rupiah
jika dilaksanakan atas kematian seorang yang sangat terhormat dan berkempauan
ekonomi sangat tinggi. Mengapa rumit, oleh karena ini adalah sebuah ritual,
bukan hanya upacara biasa. Di dalam pelaksanan ritualnya, upacara ini memiliki
tahap tahapan yang demikian kompleks. Dimulai dari MA‘TUDAN, ME’BALUN (yakni
proses pembungkusan jenazah dengan menggunakan kain merah yang sangat banyak),
MA‘ROTO (yakni pembubuhan ornamen dari benang emas dan perak pada peti
jenazah), MA‘POPENGKALO AL’ANG (yakni penurunan jenazah ke lumbung atau rumah
adat Tongkonan untuk disemayamkan), sampai kepada pelaksanaan upacara MA‘PALAO (proses pengusungan jenazah ke
tempat peristirahatan terakhir). Setiap tahap-tahapan yang ada, memiliki tata
cara tersendiri. Hal itu masih ditambah lagi dengan berbagai upacara di antara
upacara upacara yang ada. Antara lain, upacara penerimaan tamu dan pencatatan
sumbangan. Upacara MA’BADONG atau peratapan dan upacara perarakan. Kesemuanya
itu dilakukan dalam berbagai aturan aturan adat yang demikian rumit.
Lalu
mengapa mahal, hal itu bukan saja oleh karena seluruh rangakaian upacara ini
memang membutuhkan biaya besar, tetapi juga oleh karena adanya kewajiban
penyembelihan hewan kerbau dan babi. Terutama kerbau, hal ini sama sekali tidak
boleh dilewatkan. Ini adalah salah satu syarat adat yang paling penting di
dalam pelaksanaan adat Rabu Solo’. Sementara harga kerbau itu sendiri demikian
mahalnya. Seekor kerbau bisa berharga puluhan hingga ratusan juta rupiah.
Bahkan jika kerbau khusus, yakni apa yang disebut sebagai kerbau “Putih”,
harganya dapat mencapai angka miliaran rupiah. Karena semua aturan ini, maka
upacara Rambu Solo’ menjadi satu budaya yang sangat sangat mahal tetapi juga
sangat menarik untuk disimak dan dibicarakan lebih lanjut. Apa yang dalam
kesempatan ini akan kami bicarakan lebih jauh adalah, tiga fenomena penting
dari pelaksanaan upacara ritual Rambu Solo’ ini. Ketiga fenomena tersebut
ialah, fenomena rumah Tongkonan, fenomena penyembelihan kerbau dan fenomena
bentuk bentuk pemakaman yang di laksanakan.
A. FENOMENA RUMAH TONGKONAN
Puncak dari seluruh prosesi Rambu Solo’ ialah
pelaksanaan satu prosesi yang disebut juga
UPACARA RANTE. Sebagai acara puncak, upacara ini akan dilaksanakan di
sebuah lapangan besar. Maksudnya ialah, selain bisa melaksanakan beberapa
rangkaian ritual lain yang harus dilakukan dan membutuhkan ruang gerak yang
lebih besar, itu juga dimaksudkan agar dapat menampung banyaknya tamu tamu
pihak keluarga yang datang untuk mengikuti prosesi itu. Hal itu, yakni
kedatangan kaum kerabat, sendiri merupakan satu keharusan oleh karena dalam
aturan adat suku Toraja, ada satu kewajiban untuk datang ke tempat prosesi
untuk melakukan dua hal. Untuk menunjukan rasa hormat yang besar terhadap kaum
keluarga yang berduka dan untuk menyatakan dukungnya bagi keluarga dengan cara
memberikan baik sejumlah uang, maupun sejumlah ternak. Karena itulah, kaum
keluarga akan melakukan upacara penyambutan terhadap mereka, mencatat dengan
jelas segala pemberian mereka dan memberikan tempat khusus, yang memang sudah
dibuat untuk mereka. Setelah seluruh kaum kerabat telah hadir maka prosesi puncak, upacara RANTE siap
dilaksanakan.
Hal
itu dimulai dengan mengarak jenazah yang telah terbungkus kain, ke dalam rumah
Tongkonan untuk disemayamkan beberapa waktu lamanya. Berbagai ritual kemudian
dilakukan mengiringi dinaikkannya jenazah ke dalam rumah Tongkonan yang dibuat
demikian tinggi dengan puluhan bahkan ratusan anak tangga. Setibanya dipuncak,
seluruh kaum keluarga yang biasanya telah berpakaian adat, akan melaksanakan
ritual tarian ratapan atau MA’ BADONG. Hal ini terus dilakukan secara bergiliran
dengan diiringi tabuhan alat musik tradisional suku Toraja, selama jenazah
masih berada di persemayaman rumah Tongkonan. Disini, yang terpenting ialah,
keberadaan jenazah yang sedang disemayamkan di rumah Tongkonan tersebut. Memang
benar ada beberapa ritual ritual yang dilakukan sementara jenazah masih di
dalam rumah Tongkonan, tetapi rumah Tongkonan adalah hal paling utama yang
menjadi semesta dalam seluruh prosesi tersebut. Mengapa demikian, oleh karena
rumah inilah yang memegang peranan penting bagi kelangsungan eksistensi yang
telah meninggal tersebut. Fakta ini, selalu saja menimbulkan pertanyaan yang
mempertanyakan tentang, apakah rumah Tongkonan itu, dan mengapa keberadaannya
demikian fital dikalangan orang suku Toraja. Pertanyaan tersebut adalah
perntanyaan umum para wisatawan yang menyaksikan puncak ritual Rambu Solo’ ini.
Mari kita
melihat lebih dekat Fenomena Rumah Tongkonan ini. Tongkonan adalah rumah adat suku Toraja dengan beberapa ciri ciri khusus. Pertama, seluruh bagian kontruksi
rumahnya, terbuat dari kayu,
tanpa sedikitpun unsur logam. Kedua, model rumahnya adalah rumah
panggung dimana kolong dibawahnya,
biasa difungsikan
sebagai kandang kerbau.
Ketiga, atapnya terbuat
dari ijuk hitam dan bentuknya melengkung persis seperti perahu telungkup
dengan buritan. Ada juga yang mengatakan bentuknya seperti tanduk kerbau. Keempat, adanya ukiran khas Toraja. Hal itu bermakna hubungan masyarakat Toraja dengan
pencipta-Nya, dengan sesama manusia (lolo tau), ternak (lolo patuon), dan
tanaman (lolo tananan). Ukiran tersebut digunakan sebagai dekorasi eksterior
maupun interiornya. Kelima, adanya kepala kerbau menempel di depan rumah dan
tanduk-tanduk kerbau pada tiang utama di depan setiap rumah. Jumlah tanduk
kepala kerbau tersebut berbaris dari atas ke bawah dan menunjukan tingginya
derajat keluarga yang mendiami rumah tersebut. Di sisi kiri rumah yang
menghadap ke arah barat dipasang rahang kerbau yang pernah di sembelih. Di sisi
kanan yang menghadap ke arah timur dipasang rahang babi. Dan keenam, bagaimanapun kontur tanahnya, atau
posisi rumah tinggal kaum keluarganya –walaupun tidak jarang juga yang
menggunakan Tongkonan sebagai rumah tinggal—rumah Tongkonan harus berdiri,
mengarah ke utara. Karena itulah, seluruh rumah Tongkonan yang berdiri dan berjejer
di wilayah tinggal orang suku Toraja akan berdiri menghadap arah utara.
Demikianlah ciri ciri khusus Tongkonan, rumah adat suku Toraja ini.
Selanjutnya,
mari kita melihat apa arti dari kata “Tongkonan” yang
menjadi nama dari rumah adat ini. Tongkonan berasal dari kata “tongkon” yang
bermakna “menduduki” atau “tempat duduk”. Dikatakan sebagai
tempat duduk karena dahulu Tongkonan menjadi tempat berkumpulnya bangsawan
Toraja yang duduk untuk berdiskusi. Dari diskusi tersebut, lahirlah segala
keputusan atau kebijakan para bangsawan yang akan mengatur seluruh praktik
kehidupan masyarakat suku Toraja. Dengan arti demikian, maka rumah adat awalnya
difungsikan sebagi pusat pemerintahan, kekuasaan adat, sekaligus perkembangan
kehidupan sosial budaya masyarakat Toraja. Karena itulah, sampai hari ini,
kendatipun bentuk pemerintahan telah berubah, sentralitas rumah Tongkonan
sebagai pusat hidup suku Toraja, masih terjaga.
Lebih jauh, selain arti hurufiah tersebut,
rumah Tongkonan juga memiliki arti spiritual. Dalam kepercayaan orang orang
suku Toraja, mereka meyakini bahwa Tongkonan yang pertama itu dibangun oleh
Puang Matua atau Sang pencipta di
Surga. Kepercayaan ini juga mendasari mengapa mereka disebut sebagai
orang “Toraja”. Secara etimologis, kata “Toraja”
berasal dari bahasa Bugis “to riaja”
yang berarti “orang yang berdiam dinegeri
atas”. Pengartian itu sendiri didasari oleh keyakinan orang Toraja bahwa
leluhur mereka dahulu berasal dari surga, tanpa diciptakan dari unsur tanah.
Mereka kemudian turun langsung ke bumi melalui rumah Tongkonan dan melahirkan
generasi orang Toraja yang ada saat ini.
Pengertian inilah yang kemudian mendasari demikian fitalnya rumah
Tongkonan bagi spiritual orang Toraja. Inilah satu satunya saksi asal usul
mereka dan bukti keberadaan leluhur mereka. Itulah juga yang mendasari mengapa
rumah adat Tongkonan tidak dapat dimiliki secara individu, tapi diwariskan
secara turun-temurun oleh marga suku Toraja. Dalam hubungannya dengan ritual
Rambu Solo’, arti kedua inilah yang paling mendominasi. Karena arti itu
pulalah, tidak akan mungkin prosesi Rambu Solo’ tanpa rumah Tongkonan.
B. FENOMENA PENYEMBELIHAN
KERBAU DAN BABI
Setelah jenazah telah
disemayamkan di dalam Tongkonan, ritual yang dilakukan berikutnya adalah ritual
penyembelihan hewan kerbau dan babi. Dalam pelaksanaannya, ritual penyembelihan hewan-hewan ini
dilakukan di depan Tongkonan, tempat dimana jenazah itu disemayamkan. Proses
penyembelihannya sendiri dilakukan dengan cara berdiri, lalu mengangkat kepala
kerbau dan babi setinggi tingginya, lalu dengan sekali tebasan di lehernya yang
terbuka—sedapat mungkin tidak sampai dua atau tiga kali tebasan—kepala kerbau
dan babi itu dipisahkan dari tubuhnya. Seluruh proses itu dilakukan dengan
iringan musik dan tari tarianan para pemuda, yang menari nari sambil menangkap
darah yang muncrat dari leher kerbau dan babi tersebut, menggunakan bambu
panjang. Selanjutnya, kepala kerbau dan
babi yang telah terpisah dari tubuhnya itu, dijajarkan di padang (rente)
menunggu pemiliknya yang sedang dalam "masa tertidur" di dalam
Tongkonan. Lalu sebagian daging kerbau dan babi tadi, dilemparkan ke berbagai arah penjuru
angin untuk memberi penghormatan ke seluruh wilayah Tongkonan tempat
persemayaman sang pemilik dan sebagian lagi diberikan
kepada para tamu yang datang. Apa yang mereka terima itu, kemudian dicatat dan
akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Jumlah kerbau dan babi yang
disembelih biasanya disesuaikan dengan kekayaan yang dimiliki orang tersebut
yang meninggal. Semakin terhormat dan mapan tingkat ekonomi seseorang, maka semakin banyak kerbau yang
disembelih. Yang menarik, di dalam penyembelihan hewan tersebut, jika ada
kerbau yang berkulit putih atau yang biasa juga disebut kerbau “bule” yang
turut disembelih, maka hal dengan sangat jelas menunjukkan tingkat kekayaan
seseorang. Karena itu, dalam prosesi ini, kerbau “bule” akan diperoleh dengan
harga yang sangat mahal, bisa mencapai ratusan atau bahkan miliaran rupiah.
Terlepas dari itu, prosesi penyembelihan hewan, terutama kerbau adalah hal yang
juga sangat fital dalam pelaksanaan upacara Rambu Solo’.
C.
FENOMENA PEMAKAMAN
Akhir
dari seluruh prosesi Rambu Solo’ adalah upacara MA‘PALAO.
MA‘PALAO sendiri di awali dengan prosesi penurunan jenazah dari Tongkonan
dengan melakukan berbagai ritual penurunan. Setelah jenazah tiba di bawah,
tanpa sedikitpun boleh menyentuh tanah, prosesi MA‘PALAO siap dilaksanakan.
Prosesi itu sendiri adalah prosesi pengarakan jenazah menunju pekuburannya. Di
dalam pengarakan itu ditetapkan beberapa aturan yang tidak boleh dilanggar.
Antara lain membawa jenazah ke tempat aktivitasnya sehari hari dan mengaraknya
kesluruh jalan utama perkampungan. Selain itu, urut urutan kerabat yang
mengantar juga harus tertib, dimulai dari keluarga dalam, keluarga luar, para
kerabat, lalu masyarakat umum. Ini adalah peraturan peraturan yang tidak boleh
dilanggar. Kemudian, sambil arak arakan berjalan, semua masyarakat menyanyikan
nyanyian ratapan, diringi tabuhan musik tradisional suku Toraja.
Setibanya di lokasi pekuburan, jenazah
diturunkan dengan sangat berhati hati agar jangan sampai menyentuh tanah. Dalam
prosesi MA‘PALAO, menyentuh tanah saat jenazah diturunkan, baik dalam prosesi
penurunan dari tongokonan, maupun dalm prosesi penguburan, adalah pelanggaran
yang sangat serius. Hal itu bukan saja dianggap sebagai tindak penghinaan
terhadap yang bersangkutan, tetapi juga dianggap sebagai penghinaan terhadap
asal muasal orang Toraja yang bukan berasal dari tanah, tetapi langsung dari
sorga. Karena kepercayaan seperti ini, maka tradisi penguburan orang Toraja,
dilakukan dalam tiga bentuk: memasukkan peti jenazah, atau tanpa
peti tetapi bungkusan kain yang sangat tebal, kedalam lubang goa, memasukan
jenazah ke dalam lubang batu yang sebelumnya telah dipahat dan diukir, atau
dengan mengantungnya ditebing menggunakan tali yang dibuat sedemikian rupa.
Kesemua cara tersebut adalah untuk menghindari terjadinya persentuhan langsung
dengan tanah.
Ada banyak Kuburan di Toraja. Umumnya,
mereka menggunakan lubang lubang goa. Tetapi bagi kebanyakan keluarga yang
sangat mapan secara ekonomi, menggunakan lubang batu yang sengaja dipahat dan
diukir untuk pekuburan. Satu kuburan batu biasanya dimiliki oleh satu keluarga
besar, sehingga sebenarnya kuburan-kuburan tersebut adalah milik pribadi yang
kemudian dijadikan warisan budaya ataupun tempat wisata. Di depan pekeburan itu
biasanya di letakkan juga patung patung yang sangat menyerupai orang yang
meninggal tersebut. Ini berfungsi, selain untuk menegaskan yang meninggal itu
masih ada, tetapi juga berfungsi sebagai layaknya foto diri untuk menunjukan
bahwa dirinya ada di dalam lokasi penguburan itu. Hal ini fital, oleh karena
begitu banyaknya jenazah yang letakkan di dalam lubang goa dengan bentuk dan
ornament yang sama. Jadi, sekalipun kaum keluarga sulit menemukan kembali
dibagian mana dahulu jenazah kerabatnya diletakan, mereka sudah cukup puas
dengan melihat patung tau tau-nya.
Patung yang sama juga biasa ada di dalam rumah tinggal orang Toraja. Untuk
lebih jelasnya, berikut kami akan sedikit menyampaikan beberapa lokasi
pengkuburan yang ada di daerah Toraja.
Pekuburan
Batu Lemo, Lemo merupakan sebuah kuburan
yang dibuat di bukit batu. Bukit ini dinamakan Lemo karena bentuknya bulat
menyerupai buah jeruk (limau). Di bukit ini terdapat sekitar 75 lubang kuburan
dan tiap lubangnya merupakan kuburan satu keluarga dengan ukuran 3 X 5 M. Untuk
membuat lubang ini diperlukan waktu 6 bulan hingga 1 tahun dengan biaya sekitar
Rp. 30 juta. Tempat ini sering disebut sebagai rumah para arwah. Di pemakaman
Lemo kita dapat melihat mayat yang disimpan di udara terbuka, di
tengah bebatuan yang curam. Kompleks pemakaman ini merupakan perpaduan antara
kematian, seni dan ritual. Pada waktu-waktu tertentu pakaian dari mayat-mayat
akan diganti dengan melalui upacara Ma Nene. Kuburan Batu Lemo ini terletak di
sebelah utara Makale, Kabupaten Tana Toraja
Pekuburan
Gua Londa, Berada sekitar 5 km ke arah selatan dari Rantepau.
Merupakan bebatuan curam di sisi makam khas Tana Toraja. Kita dapat melihat, di tempat yang tinggi dari bukit
dengan gua yang dalam dan peti-peti mayat tersebut diatur sesuai dengan garis
keluarga. Di
satu sisi bukit lainnya,
dibiarkan terbuka menghadap pemandangan hamparan hijau. Inilah lokasi pekuburan yang terbesar dengan
jenazah yang sangat banyak.
Pekuburan Kambira, Di kuburan ini, bayi yang
meninggal sebelum giginya tumbuh dikuburkan di dalam sebuah lubang yang dibuat
di pohon Tarra’. Bayi ini dianggap masih masih suci. Pohon Tarra’ memiliki
diameter sekitar 80 – 100 cm dan lubang yang dipakai untuk menguburkan bayi
ditutup dengan ijuk dari pohon enau. Pemakaman seperti ini dilakukan oleh orang
Toraja pengikut ajaran kepercayaan kepada leluhur. Upacara penguburan ini
dilaksanakan secara sederhana dan bayi yang dikuburkan tidak dibungkus dengan
kain, sehingga bayi seperti masih berada di rahim ibunya.Kuburan ini terletak
di Desa Kambira, tidak jauh dari Makale, Tana Toraja
Demikianlah gambaran tentang bentuk
bentuk penguburan orang Toraja. Dengan selelsainya jenazah diletakkan di tempat
pekuburannya, maka selelailah seluruh ritual upacara MA‘PALAO.
Dengan berakhirnya prosesi MA‘PALAO, maka berakhirlah seluruh rangkaian upacara
ritual Rabu Solo’.
III.
PEMAPARAN KONSEPSI TIGA TAHAPAN
FENOMENA BUDAYA RAMBU SOLO’
A. KONSEPSI RUMAH TONGKONAN
Konsep rumah Tongkonan
ini dibuat sesuai dengan konsep ajaran warisan leluhur mereka, dimana rumah ini
menggambarkan alam kecil dan alam besar atau dunia dalam pemandangan mereka.
Konsepsinya antara lain sebagai berikut:
Pertama,
bagian atap sama dengan Dunia Atas. Lalu kedua ujungnya yang berbentuk tanduk,
khususnya ujung yang menghadap ke utara, menunjuk langsung pada lokasi dimana
Puang Matua (Tuhan yang maha tinggi) berada. Ia adalah pribadi yang menjaga
keseimbangan siang dan malam, tidak tergantung pada siapa dan apapun,
diidentifikasikan sebagai laki laki, berada di atas , terang dan baik.
Kedua,
bagian tengah sama dengan Dunia Tengah. Dunia Tengah ini merupakan bagian
permukaan bumi, dimana manusia menjalankan kehidupannya dan wajib melaksanakan
upacara upacara persembahan dan pemujaan dalam setiap fase kehidupannya. Disini
juga tempat merupakan bertemunya dunia atas dan dunia bawah karena
dikonotasikan sebagai kerukunan, gotong royong harmonisasi. Dalam ajaran Aluk
Todolo –agama suku atau agama animism suku Toraja yang masih banyak dipengang
hingga hari ini—keharmonisan merupakan keseimbangan susunan alam, keseimbangan
perintah dan larangan, yang mengatur keseimbangan sosial, keseimbangan
mobilitas horizontal dan keseimbangan antara timur ,barat, utara dan selatan.
Dan,
ketiga, bagian bawah, atau kolong yang ada diantara tiang tiang penyanggah, sama
dengan Dunia Bawah. Dunia Bawah yakni suatu tempat yang di anggap berada di
bawah air, diidentifikasikan sebagai
bawahan atau tempat buruk (neraka). Tetapi oleh karena ia berada di antara
tiang tiang penyanggah yang berhubungan langsung dengan Dunia Tengah, maka
keberadaannya ditopang langsung oleh jiwa jiwa yang berada di bumi, yakni Dunia
Tengah.
Dalam
tradisi kepercayaan orang Toraja, mereka percaya bahwa Tongkonan pertama itu
dibangun oleh Puang Matua atau sang pencipta di surga. Dahulu hanya bangsawan yang berhak membangun Tongkonan.
Selain itu, rumah adat Tongkonan tidak dapat dimiliki secara individu tapi
diwariskan secara turun-temurun oleh marga suku Toraja.
Konsep berfikir inilah yang sangat mendasari mengapa
rumah Tongkonan menjadi begitu fital, bahkan menjadi semesta yang menjiwai
seluruh tahapan dalam ritual Rambu Solo’.
Ada tiga nilai utama yang benar benar membuatnya tidak dapat ditiadakan.
Pertama, nilai kepercayaan terhadap adanya tuhan yang tinggal di tempat mana
para leluhur mereka berasal. Dalam ritual Rambu Solo’, nilai ini berfungsi
untuk mengkonfirmasi kemana arwah seseorang akan kembali. Kedua, nilai
kepercayaan terhadap terjadinya pertemuan di dunia tengah, tempat dimana
jenazah dibaringkan. Dalam ritual, nilai ini berfungsi untuk menegaskan
terjadinya pertemuan awal dari arwah orang yang jenazahnya sedang disemayamkan
dengan para leluhur mereka. Tempat ini, yakni dunia tengah berfungsi menjadi
semacam “terminal” awal pertemuan sebelum nantinya akan pergi ke surga, tempat
asal mereka. Dan ketiga, nilai kepercayaan bahwa arwah yang bersangkutan tidak
akan pergi ke dunia bawah yang buruk, tempat dimana segala susah ada. Dalam
ritual, nilai ini dikonfirmasi oleh bentuk Tongkonan yang memang bagian
tengahnya dipisahkan langsung dari tanah, simbol dunia bawah.
B.
KONSEP PENYEMBELIHAN KERBAU
Sebagaimana sudah
dibicarakan di atas, orang Toraja percaya
bahwa arwah
orang yang sudah mati tadi, oleh karena diletakkan di dunia tengah, sedang
berada di terminal awal untuk menunju ke Puya (surga, tempat asal mereka). Hal
ini juga ditegaskan di dalam kepercayaan umum orang Toraja tentang kematian
bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang
dengan tiba-tiba, tetapi merupakan sebuah proses
bertahap menuju Puya.
Sampai dengan dilaksanakannya ritual Rambu Solo’, arwah orang mati tersebut
akan benar benar melakukan perjalanan menuju Puya. Untuk tujuan tersebut, orang
Toraja juga percaya arwah tersebut membutuhkan kendaraan untuk, bukan saja
dapat sampai ke tempat tersebut, tetapi juga lebih cepat sampai. Karena itulah
kerbau menjadi sangat dibutuhkan disini. Kerbau diyakini adalah “kendaraan”
khusus yang, bukan saja bisa digunakan, tetapi tidak dapat gantikan dengan
hewan lainnya. Semakin banyak kerbau, semakin baik bagi tujuan itu. Bagaimana
supaya kerbau dapat dijadikan kendaraan, kerbau tersebut harus disembelih di
depan Tongkonan. Itulah mengapa kerbau harus disembelih saat upacara Rambu
Solo’. Sementara babi yang juga turut disembelih tidak dipahami dalam
pengertian ini, tetapi dalam pengertian memberi penghormatan kepada arwah,
sekaligus menyediakan makanan bagi para tamu.
Yang
menarik disini ialah, mengapa harus kerbau? Rupanya hal ini berhubungan dengan
keyakinan orang Toraja bahwa, dahulu kala, tatkala para leluhur mereka dari
sorga datang ke bumi, mereka berjalan dengan “mengendarai” kerbau. Karena
itulah, untuk kembali ke surga, ketempat para leluruh mereka berada, arwah
seseorang juga harus mengendari kerbau sebagai “kendaraan” yang sama.
Nilai
apa yang terkandung dalam konsep ini, sangat jelas. Seseorang membutuhkan
kendaraan untuk kembali ke surga. Tapi sangat berbeda dengan keyakinan umumnya
keyakinan Teisme, dimana amal dapat berfungsi sebagai pengahantar –atau dalam
perspektif tertentu dapat juga disebut kendaraan—orang toraja memandang kerbau
sebagai kendaraannya. Perbedaan lain yang sangat menonjol dengan umumnya
keyakinan Teisme, orang Toraja tidak memandang kerbau sebagai syarat bisa
tidaknya masuk sorga. Kerbau disini dipandang hanya sebatas kendaraan
penghantar. Isunya bukan soal “bisa-tidaknya” tetapi soal “cepat-lambatnya”.
Berhubung orang Toraja, karena begitu hormatnya kepada yang meninggal, tidak
menginginkan perjalanan yang lambat, ditambah lagi dengan adanya kepercayaan
tradisi tentang kendaraan para leluhur mereka, maka mereka mengupayakan
sebanyak mungkin kerbau untuk mempercepat perjalanan itu. Secara khusus untuk Tedong Bonga—kerbau “bule”—oleh
karena bola matanya yang memang berwarna putih, sebagaimana kulitnya, maka
orang Toraja percaya bahwa ia akan berjalan jauh lebih cepat ketimbang kerbau
jenis lain. Itu karena penglihatannya jauh lebih jelas di dunia akhirat.
Inilah
nilai mendasari mengapa kerbau harus disembelih di depan Tongkonan ketika
ritual Rambu Solo’ berlangsung.
C.
KONSEP
PEMAKAMAN
Orang Toraja memiliki sedikitnya
tiga konsep berfikir tentang pemakaman. Konsep ini selanjutnya menyebabkan
mereka memilih bentuk bentuk pemakaman sebagaimana yang ada saat ini. Pertama,
pemakanan dimaksudkan untuk menghindarkan masyarakat Toraja dari wabah penyakit, suatu kemalangan
yang demikian dihindari. Mengapa demikian, oleh karena orang Toraja—khususnya
yang masih menganut kepercayaan animism Aluk Todolo—menganggap bahwa orang yang
meninggal layaknya
orang sakit. Jadi jika tidak
dipindahkan maka arwahnya akan menyebabkan persoalan serius diantara mereka.
Lalu, oleh karena dianggap sebagai orang sakit, maka mereka masih dianggap
hidup dan perlu dirawat layaknya orang yang masih hidup. Karena itu, umumnya
orang Toraja masih menyediakan makanan, minuman, rokok, sirih, atau beragam
sesajian lainnya. Lalu sebagai
penegasan tentang kehadirannya yang bisa mendatangkan perlindungan akibat
terurus dengan baik, maka dibuatkanlah patung tau tau, yakni patung yang sama
persis dengan dirinya dan ditempatkan di dalam rumah orang hidup. Tujuannya
agar arwah yang sudah mati itu dapat memberi perlindungan kepada kaum
keturuannya.
Kedua, orang hidup
masih dapat melakukan sesuatu yang dibutuhkan oleh orang mati. Itulah mengapa Pohon Tarra’ dipilih sebagai tempat
penguburan bayi. Mengapa harus pohon tarra’ karena pohon ini memiliki banyak
getah yang dianggap sebagai pengganti air susu ibu. Dengan menguburkan di pohon
ini, orang-orang Toraja menganggap bayi ini seperti dikembalikan ke rahim
ibunya dan mereka berharap pengembalian bayi ini ke rahim ibunya akan
menyelamatkan bayi-bayi yang akan lahir kemudian.
Dan, ketiga, bahwa karena masih dianggap hidup, maka orang
mati tersebut masih harus diperlakukan secara terhormat. Hal itu terutama
didasari pada keyakinan bahwa arwah orang yang telah mati tersebut masih
sepenuhnya sadar, terutama tentang asal usulnya yang dari sorga. Karena ia dari
sorga, sama seperti kesadaran orang Toraja yang masih hidup, maka ia harus
ditempatkan dalam satu posisi yang tidak boleh bersentuhan langsung dengan tanah.
Persentuhan itu sama dengan menghubungkannya dengan dunia bawah atau neraka.
Hal ini demikian pantang bagi orang Toraja. Hal itu bukan saja sama dengan
penghinaan besar, tetapi juga “pelecehan” serius terhadap asal usulnya. Karena
itulah mereka akan dikuburkan dengan diletakkan begitu saja dalam sebuah lubang
goa dari batu, atau sengaja memahat batu, atau—biasanya hanya untuk
bayi—digantung disisi tebing. Disini batu dipandang sebagai yang mewakili
fungsi rumah Tongkonan.
Nilai nilai apa yang terkandung di dalam konsep ini, sangat
jelas. Sedikitnya ada tiga hal. Pertama, kepercayaan bahwa orang mati,
kendatipun ia sudah berada di Puya, ia masih dapat berintervensi terhadap
kehidupan kaum keturunannya. Entahkan untuk “memberkati” ataupun untuk
“menghukum”. Karena itulah, ia harus
diperlakukan layaknya seorang yang masih hidup diantara kaum keluarganya.
Sekali lagi, itu karena ia masih dapat berbuat sesuatu bagi kehidupan di dunia.
Kedua, penghormatan, dimana orang hidup, kendatipun secara fisik sudah terpisah,
masih bisa melakukan tindakan pemeliharaan terhadap arwah orang mati. Terutama
karena didorong oleh motif penghormatan, walaupun ada juga motif rasa sayang,
ataupun ketakutan, mereka dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi arwah
orang mati. Ketiga, nilai proklamatif, dimana baik orang hidup maupun orang
mati, sama sama harus selalu menyatakan darimana asal mereka. Tidak perduli
dari latar belakang ekonomi apa ia berasal, ia harus dinyatakan sebagai seorang
yang dari surga.
Inilah ketiga hal yang sangat mendasari mengapa orang Toraja
harus menguburkan dengan cara cara yang tidak boleh bersentuhan langsung dengan
tanah dan mengapa harus selalu ada patung orang yang telah meninggal tadi.
IV.
TANGGAPAN ALKITABIAH
TERHADAP PELAKSANAAN DAN KONSEP NILAI BUDAYA RAMBU SOLO
Sebagai salah satu aset
kekayaan di Indonesia, budaya Rambu Solo’ demikian penting untuk dilesatarikan.
Bukan saja karena dapat memberikan keuntungan besar bagi sektor pariwisata
Indonesia, tetapi juga karena ini memang salah satu warisan leluhur yang sangat
berharga dan telah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang. Karena
itulah tradisi ini menjadi sangat
berharga bagi semua orang Toraja. Bagi masyarakat suku Toraja sendiri,
membicarakan bagaimana pentingnya hal ini bagi mereka, itu sama pentingnya
dengan membicarakan jati diri mereka sendiri. Bagi mereka, ritual Rambu Solo’
adalah satu satunya peristiwa adat yang berisi seluruh nilai ke-Toraja-an
mereka. Setiap kali ritual ini dilaksanakan, seluruh nilai jati diri mereka
sebagai “to riaja” diprokalamasikan
dan dikonfirmasikan kembali kepada semua mereka. Inilah satu satunya peristiwa
adat yang paling menentukan bagi seluruh eksistensi mereka. Membicarakan Rambu
Solo’ sama dengan membicarakan Toraja itu sendiri. Tanpa Rambu Solo’, tidak ada
ke-toraja-an itu. Dalam perspektif demikian, maka kita semua menjadi jelas
bahwasannya lebih dari sekadar sebuah rutinitas budaya, ritual Rambu Solo
adalah segala galanya bagi orang Toraja. Mereka akan hidup, bekerja dan
mendapatkan sebanyak banyaknya hasil demi dapat melangsungkan ritual ini. Ada
rasa malu yang besar jika seorang Toraja tidak dapat melaksanakan ritual ini
ketika dirinya, atau salah satu kerabat dekatnya meninggal dunia. Untuk
perasaan itu, orang Toraja bahkan tidak menyangkali jika dikatakan bahwa mereka
“hidup untuk kematian!”.
Memperhatikan urgensi
ini, khususnya dalam konteks kehidupan orang Toraja masa kini, secara langsung akan menimbulkan beberapa pertanyaan serius. Antara lain, masih tepatkah
prinsip itu dipertahankan dan dipengang erat? Ini bukan saja karena mengingat
bahwa jaman ini sudah demikian modern untuk sebuah tradisi yang telah
berlangsung sangat lama, tetapi juga karena umumnya orang Toraja masa kini
adalah penganut Kristen Protestan. Apakah atau adakah relevansi ajaran Kristen
terhadap ritual Rambu Solo’? Dapatkah keduanya berjalan sejajar, sebagaimana
yang hari ini terjadi di kalangan masyarakat Kristen Toraja? Dari perspektif
ajaran Kristen Prostestan yang kesemuanya dibangun berdasarkan Alkitab, setegas
tegasnya jawabannya adalah, tidak. Tidak dalam arti,
sama sekali tidak memiliki relevansi. Untuk
itu,
berikut kami akan menyajikan beberapa point
sebagai jawaban.
1.
Semua manusia ada sebagai yang diciptakan Tuhan, bukan
sudah ada sejak dari kekekalan.
Datang sebagai yang berasal dari
kekekalan—puya;surga—adalah keyakinan terpenting dari agama kuno suku Toraja.
Inilah tema utama yang menjiwai seluruh pelaksanaan ritual Rambu Solo’.Dapat
dikatakan bahwa maksud dari seluruh ritual ini adalah upaya mengembalikan
seorang yang dari surga kembali ke tempat asalnya. Karena itu, semua upaya,
baik itu persemayaman, penyembihan kerbau, perarakkan, maupun tata cara
pemakaman, seluruhnya dipikirkan sedemikian rupa, agar yang bersangkutan dapat
kembali dengan “selamat” ke tempat asalnya. Apa yang paling menonjol dari
pandangan ini adalah, bahwa manusia tidak bermula sebagai yang diciptakan
Tuhan. Semua orang Toraja—baca:yang berasal dari langit—adalah manusia manusia
yang ada begitu saja, tanpa melalui proses penciptaan. Hal ini lebih lagi
ditegaskan di dalam tatacara penguburan mereka. Sebagaimana sudah dibicarakan
di atas, bahwa merupakan suatu kesalahan serius jika jenazah orang Toraja itu
menyentuh tanah. Jika itu terjadi, itu sama saja dengan penghinaan besar
terhadap asal usul orang bersangkutan. Apa yang sebenarnya hendak ditekankan
disini adalah, orang Toraja tidak pernah bermula sebagai ciptaan. Tanah, selain
sebagai yang menggambarkan dunia bawah, juga menunjuk kepada materi dasar dari
semua mahluk yang diciptakan. Karenanya, menyentuhkan jenazah ke tanah,
dipandang sama dengan menganggapnya sebagai ciptaan yang dari tanah. Ini sama
sekali tidak boleh terjadi.
Boleh jadi bahwa pandangan ini memang dianggap benar di
dalam keyakinan animis suku Toraja kuno. Tetapi pandangan ini sama sekali tidak
sejalan dengan keyakinan di dalam ajaran Kristen. Sejak awal—khusus di pasal
pasal awal kitab Kejadian—ketika Alkitab membicarakan permulaan dari seluruh
ciptaan, manusia juga termasuk diantara yang diciptakan itu. Menariknya,
berbeda dengan ciptaan yang telah ada sebelumnya, penceritaan tentang penciptaan manusia
dibicarakan demikian detail. Mulai dari bagaimana Allah memikirkan seperti apa
manusia harus dijadikan, untuk tujuan apa ia diciptakan, lalu penetapan debu
tanah sebagai materi dasar penciptaannya, sampai pada bagaimana Allah sendiri
meniupkan kehidupan didalam dirinya—Kej 1:26; 2:7. Apa yang mau ditekankan
disini adalah, bahwa manusia benar benar berangkat dari satu permulaan sebagai
yang diciptakan dari debu tanah. Sampai pada terbentuknya dari ia materi itu,
manusia belum juga memiliki kehidupannya sendiri. Nanti setelah Allah yang
meniupkan kehidupan, barulah ia memilikinya dan memulai seluruh kehidupannya,
terutama bertambah banyak sebagaimana tujuan mekanisme bilogis yang memang
diciptakan di dalam dirinya. Sampai disini, jelas. Dengan cara yang sangat
jelas, Alkitab menegaskan bahwa kehidupan manusia itu memiliki permulaan dan
permulaannya sendiri berawal dari tanah. Ia tidak pernah datang dari sebuah
kekekalan yang tanpa permulaan. Jika demikian, ia dapat saja menyamakan dirinya
dengan Tuhan dan karenanya, bisa bertindak layaknya Tuhan. Ini bukan merupakan
tujuan dari eksistensi manusia, sebagaimana padangan Alkitab. Alkitab dengan
jelas menegaskan tujuan manusia hidup ialah untuk menunaikan mandat Ilahi dan
bergantung sepenuhnya kepada Allah sendiri.
Jadi, jika melihat kedua perspektif ini, nampak jelas
adanya perbedaan konsep yang demikian tajam diantaranya. Konsepsi apa yang
terdapat di dalam ajaran Alkitab, secara total berlawanan dengan seluruh konsep
yang ada dibelakang ritual Rambu Solo’. Keduanya bukan saja tidak memiliki
relevansi satu sama lain, tetapi juga memang berbeda secara total.
2.
Tidak ada hubungan antara dunia orang hidup dengan dunia
orang mati.
Manusia dapat berbuat sesuatu bagi orang yang telah
meninggal, sebagaimana halnya orang meninggal bisa melakukan sesuatu—baik yang
sangat merugikan, maupun menguntungkan—kepada orang hidup. Demikian prinsip
utama yang mendasari mengapa orang Toraja, bukan saja terikat pada ketakutan
besar tetapi juga harus menjalankan seluruh ritual Rambu Solo’ ini. Mengapa
anggapan semacam ini bisa timbul, oleh karena mereka menganggap orang yang
sudah mati itu sebenarnya masih hidup. Oleh karena ia masih hidup, maka masih
bisa terjadi interaksi langsung antara orang hidup dan orang mati. Apa yang
bisa dilakukan oleh orang hidup terhadap orang mati adalah, mengupayakan segala
sesuatu yang sangat dibutuhkan bagi “lancarnya” perjalanan pulang itu. Apa yang
dapat dilakukan orang mati terhadap orang hidup, tergantung bagaimana orang
hidup memperlakukan jasadnya. Jika diperlakukan dengan baik, maka akan
memberkati dan melidungi. Jika diperlakukan secara buruk, maka bisa
mendatangkan masalah serius di dalam kehidupan orang hidup. Keyakinan ini
kemudian diwujudkan dengan pembuatan patung patung orang mati—tau tau—yang
ditempatkan di dalam rumah orang hidup.
Patung patung ini dipandang sebagai monumen yang menegaskan perjumpaan orang
hidup dan orang mati.
Dari perspektif Alkitab, pandangan ini sama sekali tidak
Alkitabiah. Di dalam Alkitab tercatat, Kristus secara khusus memberikan
perhatian untuk hal ini. Diantara sekian banyak pengajaranNya, Kristus juga
memaparkan satu perumpamaan yang, sedikit dikitnya, memberikan gambaran
kongkrit tentang bagaimana fakta hubungan orang mati dan orang hidup. Hal itu
terdapat di dalam kisah Lazarus dan orang kaya—Luk 16:19-31. Dibagian penutup
dari kisah ini, diungkapkan keinginan orang kaya—dalam situasi dirinya berada
didalam dunia orang mati—untuk sekiranya dapat berbuat sesuatu bagi saudara
saudaranya di dalam dunia orang hidup. Tetapi hal itu tidak dimungkinkan, oleh
karena, layaknya jarak tak terseberangi antara dirinya dan Lazarus, demikian
pula tak mungkinnya menjalin hubungan antara orang mati dengan orang hidup. Apa
yang hendak ditekankan disini ialah, tidak ada satu kemungkinan, bahkan yang
terkecil sekalipun, untuk seorang yang telah mati melakukan sesuatu kepada
orang hidup. Demikian pula halnya dengan orang hidup yang juga tidak
dimungkinkan untuk berbuat sesuatu bagi orang mati.
Kondisi ini semakin ditegaskan di dalam pembicaraan tentang
tidak mungkinnya ada hubungan antara orang kaya tersebut dengan
Lazarus—kendatipun mereka berada dalam konteks yang sama, terpisah dari dunia
orang hidup. Dalam hal ini, jangankan berhubungan dengan dunia orang hidup,
berhubungan dengan Lazaruspun, sama sekali tidak dimungkinkan. Sebagaimana
pandangan Morris, apa yang hendak ditekankan disini adalah, keterpisahan antara
dunia orang hidup, tempat kebahagiaan dan tempat penghukuman adalah
keterpisahan kekal dan total. Kekal oleh karena tidak adanya waktu untuk
merevisi apapun dan total oleh karena tidak adanya kemungkinan untuk membangun
hubungan apapun.
Jadi, sama seperti kesimpulan di atas, pada konsepsi inipun
terlihat perbedaan mendasar antara pandangan Alkitab dan pandangan dibelakang
ritual Rambu Solo’. Esensi perbedaan itu sendiri demikian tajamnya. Bukan saja
bicara tentang bagaimana nilainya, tetapi juga bicara tentang ekspresi
sikapnya. Dengan pandangan Alkitab, seseorang sama sekali tidak dapat berbuat
apapun terhadap orang mati; baik berfikiran maupun melakukan sesuatu. Ada jarak
yang bukan saja jelas, tetapi juga total diantara mereka. Untuk itu, apapun
yang disebut sebagai aktivitas bagi orang mati dalam kaitan dengan relasi
saling sadar di antara mereka, sama sekali tidak dapat dibenarkan.
3.
Karena semua manusia telah berdosa, maka Kristus adalah
satu satunya jalan menuju kehidupan kekal, bukan kerbau.
Satu hal yang sangat menarik dalam mencermati konsepsi apa
yang terdapat dibelakang ritual Rambu Solo’ ialah, sama sekali tidak dijumpai
pengajaran ataupun peringatan terhadap dosa. Hal ini dengan sangat jelas
mengindikasikan bahwa dosa bukan saja tidak penting dalam pemahaman suku Toraja
kuno, tetapi juga dianggap tidak ada. Karena itu, dosa tidak pernah nampak,
baik sebagai agenda ajar maupun agenda peringatan, di dalam seluruh ekspresi
mereka. Mengapa bisa demikian, sekali lagi ini berkaitan erat dengan keyakinan
asal usul mereka. Oleh karena mereka meyakini bahwa mereka berasal dari sorga,
maka neraka bukanlah tujuan mereka. Dalam hal ini, baik sorga maupun neraka
hanya dipandang dalam kaitannya dengan tujuan yang berhubungan dengan asal
usul. Disini, sama sekali tidak ada unsur konsekuensi tindakan. Karena itu,
sekalipun mereka juga mengakui adanya neraka, tetapi oleh karena tidak berasal
dari sana, maka—seberdosa apapun dia—mereka tidak akan pernah menuju ke nereka.
Pendeknya, mereka meyakini bahwa neraka bukanlah tujuan mereka, oleh karena
mereka tidak pernah berasal dari sana. Sebalik sorga, oleh karena merupakan
tempat asal mereka, pasti menjadi tujuan akhir mereka, seberdosa apapun dia
menurut pandangan Kristen. Dalam
perspektif demikian, maka dosa menjadi sama sekali tidak penting dan tidak
menempati posisi apapun dalam pemahaman mereka.
Dalam kategori fikir semacam ini, kerbau mengambil alih
posisi penting, sebagaimana pentingnya Kristus di dalam keyakinan Kristen. Oleh
karena surga sepenuhnya hanya berkaitan dengan asal usul dan tujuan akhir, maka
kerbau menjadi fital sebagai “pengantar” yang dipandang efektif. Disini yang
menonjol adalah keyakinan bahwa kerbau adalah jawaban bagi persoalan tujuan
akhir mereka. Seburuk apapun ia menjalani kehidupan, asal ada kerbau, semua
urusan menyangkut hidup kekal, teratasi. Sangat mungkin, bahwa inilah konsepsi
yang mendasari mengapa rata rata orang Toraja memiliki lebih dari satu ekor
kerbau. Pertanyaannya adalah, benarkah bahwa semua orang Toraja adalah manusia
tanpa dosa? Jika jawabannya “Ya”, benar benar sebuah penipuan yang sangat
fatal. Bagaimanapun juga, dari dasar
hati yang terdalam, semua orang—termasuk juga orang Toraja—pasti tahu bahwa
dirinya memang berdosa. Dalam kapasitas seperti itu, seseorang sama sekali
tidak membutuhkan kerbau. Sama sekali tidak terdapat relevansi apapun juga
antara manusia berdosa dengan kerbau. Dilihat dari sudut pandang Alkitab—atau
sudut pandang logika rasionalpun sama—ini sama sekali tidak dapat diterima.
Manusia dan kerbau adalah dua ciptaan yang secara esensial sangat berbeda.
Manusia memiliki gambar Allah, karenanya ia memiliki aspek kekal sebagai yang
bisa dihukum ataupun diampuni, sementara kerbau sama sekali tidak. Bagaimana
bisa, yang sama skali tidak memiliki aspek kekal, dapat memberi andil bagi
kehidupan kekal? Sekali lagi, ini adalah sesuatu yang tidak dapat diterima.
Alkitab sebagai yang mendasari seluruh ajaran Kristen
menegaskan bahwa persoalan terpenting dari manusia adalah dosa. Untuk persoalan
ini, manusia sama sekali tidak tidak dapat mengupayakan satupun solusi. “Nasib”
semua manusia sudah jelas, menerima hukuman Allah karena dosanya. Satu satunya peluang bagi keselamatannya
adalah anugerah Allah di dalam Kristus. Penegasan itu dinyatakan berdasarkan pengakuan
Kristus sendiri. Dalam salah satu pernyataannya, Kristus menegaskan bahwa hanya
diriNyalah satu satunya jalan menuju sorga—Yoh 14:6. Hal itu bukan tanpa
alasan. Seluruh pernyataan PL tentang jalan yang dikehendaki Allah bagi
keselamatan manusia berpusat di dalam dirinya sendiri. Yang terpenting disini adalah bahwa Kristus
adalah Allah sendiri, pencipta manusia yang berkorban bagi penebusan manusia
berdosa. Fakta ini sama sekali tidak dapat digantikan oleh kerbau. Kerbau hanya
mahluk tanpa arti apapun bagi kehidupan kekal. Sebagaimana hewan lainnya, satu
satunya relevansi kematian kerbau adalah agar memudahkan proses pengolahannya
sebagai konsumsi manusia. Hanya itu, tidak ada hal lain, apalagi relevansi
kekal. Apa yang hendak dikatakan disini adalah, manusia berdosa hanya
membutuhkan Kristus sebagai jawaban mengapa ia diampuni dan mendapat bagian di
dalam sorga, bukan kerbau.
Jadi, sebagaimana kedua hal di atas, konsepsi ini juga sama
sekali berseberangan dengan ajaran Alkitab. Sama sekali tidak ada hubungan yang
karenanya dapat menjadi satu alasan mengapa Kekristenan dapat berjalan bersama
sama dengan keyakinan yang terdapat didalam ritual Rambu Solo’. Dua hal ini
adalah dua hal yang total berbeda, sekaligus total terpisah. Dilihat dari sudut
pandang manapun juga, sama sekali tidak ada peluang yang memungkinkannya
berjalan bersama sama.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
Sangat menarik memperhatikan bagaimana Kekristenan—dengan
seluruh nilai dan pola pola apa yang ada di dalamnya—berinteraksi dalam konteks
adat istiadat suku Toraja. Apa yang paling menarik disana ialah memperhatikan
bagaimana kedua nilai ini—kekristenan dan adat istiadat suku Toraja—saling
tarik menarik, bahkan seperti saling “berebut” tempat utama di hati masyarakat
Kristen suku Toraja. Apa yang terlihat disana ialah ketidak jelasan sistemik
yang amat memprihatinkan. Di satu pihak, mereka telah lama meninggalkan agama
Aluk Todolo sebagai agama nenek moyang mereka, dipihak lain, mereka tidak dapat
melepaskan ritual Rambu Solo’ yang berisi seluruh nilai ke-Toraja-an mereka.
Didalam diri seorang Toraja Kristen, fakta ini benar benar merupakan sebuah
dilema historis yang telah lama menjadi pergumulan serius dikalangan mereka.
Dalam kenyataannya, dilema ini bukanlah fakta mudah yang dapat segera
dibereskan. Melihat semua itu, khususnya dalam konteks intraksi orang Kriten
Toraja dengan ritual Rambu Solo ini, maka kami dapat menarik tiga kesimpulan
umum, sebagai berikut:
1. Orang Kristen
Toraja Telah Lama Sengaja Berkompromi.
Memang benar bahwa bukan semua nilai nilai budaya Rambu
Solo’ dapat disebut sebagai yang salah. Tanggapan Alkitabiah juga tidak
dimaksudkan untuk mempersalahkan seluruh nilai yang ada. Hal hal khusus seperti
kuatnya rasa kekeluargaan, adanya kesadaran untuk menghormati dan adanya
kerelaan untuk meringankan beban kaum keluarga yang sedang berduka, adalah
nilai nilai penting bukan saja tidak bertentangan dengan ajaran Alkitab, tetapi
juga memang patut untuk dipertahankan. Demikian pula hal hal yang menyangkut
identitas kesukuan secara umum, misalnya pakaian adat atau rumah adat—hanya
dalam arti sebagai ciri kesukuan—juga tidak ada salahnya jika dipertahankan.
Tetapi untuk nilai nilai yang umumnya terkandung di dalam konsepsi dari ritual
ini—sebagaimana yang sudah dibahas sebelumnya—sama sekali tidak dapat diterima
di dalam Kekristenan. Tetapi dalam kenyataannya, apa yang sudah sejak lama
terjadi ialah, umumnya masyarakat Kristen Toraja tetap saja terikat pada
konsepsi konsepsi ini, tanpa pernah berupaya untuk membedakannya, atau sekadar
menjalankannya sebatas kekayaan budaya.
Bagaimana hal itu dapat dipastikan, terlihat jelas dari
fakta bahwa hampir seratus persen—kalau bukan seratus persen—orang Toraja tidak
dimakamkan di tanah, lalu adanya patung tau tau di kebanyakan rumah rumah orang
Toraja, pentingnya hewan kerbau dalam kehidupan mereka—terlihat dari begitu
banyaknya tanduk tanduk kerbau yang sengaja diperlihatkan ditiang depan rumah
tongkonan—dan fitalnya rumah tongkonan bagi mereka. Hal itu masih ditambah lagi
oleh betapa kuatnya motivasi dan kebanggaan diri umumnya orang Toraja terhadap
terlaksananya ritual ini. Hal ini dengan begitu jelas memperlihatkan demikian
lamanya mereka telah berkompromi dan menganggap semua itu sebagai sebuah
kewajaran. Kompromi itu sendiri dapat dipastikan sebagai sebuah kesengajaan
oleh karena dapat dipastikan bahwa firman Tuhan telah memperlihatkan perbedaan
dan pertentangan konsep di antara kedua hal ini.
2. Tidak Adanya
Ketegasan Dari Pihak Gereja Kristen Toraja Untuk Menyuarakan Perbedaan Konsepsi
Dan Upaya Nyata Untuk Menghentikan semua praktik kompromi ini.
Tak dapat disangkali bahwa budaya Rambu Solo’ adalah
sesuatu yang sangat berharga. Karenanya, tidak pula dapat disalahkan jika ada
sejumlah orang yang demikian berniat untuk mempertahankan bahkan menjalankannya
hingga saat ini. Demikian pula halnya jika ini pandang dari sudut pandang iman
Kristen. Secara ekstrnal, iman Kristen tidak sedikitpun merendahkan nilai
keberhargaan dari budaya ini, apalagi berniat untuk menghapuskannya dari
tatanan kehidupan, khususnya kehidupan orang Toraja. Dalam hal ini, jika
dilihat dari perspektif eksternal iman Kristen, persoalannya bukan pada
keberharagaan budaya tersebut atau pada niat mempertahankannya. Persoalan
sebenarnya ialah terletak pada cara menilai, menghayati dan mengimani segala
sesuatu yang berhubungan dengan konsepsi apa yang ada dalam seluruh tahap
tahapan budaya Rambu Solo’ ini. Jika pola pola ini terjadi dalam praktik hidup
orang Kristen Toraja, hal itu sama dengan upaya internalisasi konsepsi Rambu
Solo’ di dalam nilai nilai iman Kristen. Sebagai hasilnya, kekristenan kehilangan
originalitas nilainya dan menjadi semacam kekristenan yang sama sekali tidak
dikenal. Dalam perspektif tertentu, itu sama saja dengan bukan keristenan sama
sekali.
Dengan demikian, maka jika pratik pratik internalisasi
seperti ini terus terjadi, sudah jelas bahwa siapapun yang mempertahankan dan
mempratikan itu di dalam kehidupannya, ia sama sekali bukan Kristen. Walau dari
tampakannya ia menunjukan segala sesuatu yang berhubungan dengan Kristen,
sesungguhnya hal itu hanyalah samaran saja. Bagaimanapun juga, kedua hal ini;
Iman Kristen dan Budaya Rambu Solo’—yang di dalamnya juga berisi serangkaian
nilai nilai keimanan—tidak dapat disandingkan, apalagi dijalankan secara
bersama sama sebagai mana yang hari ini terjadi. Persoalannya, suara semacam
ini sangat mungkin tidak pernah, atau tidak lagi disuarakan oleh gereja
ditengah tengah orang Kristen Toraja. Sangat mungkin juga bahwa gereja turut
juga memandang keberhargaan budaya Rambu Solo’ ini beserta seluruh nilai nilai
yang ada didalamnya. Dalam hal ini, gereja secara utuh mengadopsi budaya ini
dan dengan sengaja membiarkan proses internalisasi nilai ini terus menerus
terjadi. Akibatnya, gereja kehilangan daya kenabiannya untuk menyuarakan dan
menegaskan perbedaan mendasar diantara kedua hal ini, sekaligus juga kehilangan
kemampuan “hukumnya” untuk melakukan tindakan penghentian atas semua pratik
yang kompromis itu.
Barangkali saja pernyataan ini menimbulkan satu pertanyaan,
bagaimana bisa menarik sampai menarik kesimpulan seperti? Ya, itu sangat
rasional, oleh karena kehadiran gereja di tengah tengah suku Toraja tidak dapat
dikatakan sebentar. Faktanya, gereja bukan saja telah lama hadir diantara masyarakat
suku Toraja, tetapi juga sekaligus menjadikan masyarakat Toraja sebagai
mayoritas penganut Kristen Protestan. Seharusnya fakta ini memberikan perubahan
signifikan didalam pola pola hidup masyarakat suku Toraja. Tetapi jika ternyata
sampai pada hari ini konsep berfikir umumnya orang Toraja Kristen masih
demikian kuat dipengaruhi oleh konsepsi budaya Rambu Solo’, maka jelaslah bahwa
gereja memang tidak tegas dan kehilangan kuasa kenabiannya untuk menindak semua
tindak kompromi ini.
3. Jika Harus Dilaksanakan,
Rambu Solo’ Harus Dipandang Khusus Hanya Dalam Batasan Kekayaan Budaya, Bukan
Lagi Sebuah Ritual Yang Mengikat.
Melihat dua kesimpulan di atas, sangat wajar jika
memunculkan pertanyaan, apakah dengan demikian maka orang Toraja seharusnya
terputus secara total dari pratik praktik budaya Rambu Solo’? Jawaban kami,
mungkin tidak harus demikian. Bagaimanapun juga, hal hal apa yang secara umum
dapat memberikan dampak positif bagi nilai nilai kesukuan Toraja, tentu saja
masih dapat dipertahankan. Tetapi apa yang dapat dilakukan untuk menegaskan
eksistensi original dari Kekristenan, harus dilakukan. Antara lain, tidak
mempermaslahkan cara penguburan, tidak mengharuskan pemotongan kerbau dan tidak
mengharuskan persemayaman di tongkonan. Pendek kata, kalau hal ini memang masih
perlu dilakukan, lakukanlah tidak dalam arti sebuah ritual yang mengikat. Nilai
ritualitasnya harus diminimalisir sedemikian rupa sampai semua nilai nilai
keharusannya tidak menjadi begitu penting tatkala hal itu secara terang terangan
berlawanan dengan ajaran Alkitab. Paling tidak, lakukanlah hal itu dalam
batasan sekadar sebuah kekayaan budaya yang sedikitnya dari hal itu nilai
ketorajaannya masih bisa terlihat.
DAFTAR PUSTAKA
SUMBER BUKU
Sarira,Y.A. Aluk
Rambu Solo’ dan Persepsi Orang Kristen Terhadap Rambu Solo’. Toraja:
Pusbang Gereja Toraja, 1996.
Ensiklopedia Nasional Indonesia,
jilid 14. Jakarta. PT
Cipta Abdi Pustaka,1991.
Calvin, Jhon. Commentaries The First Book of Moses: GENESIS. Grand Rapid: Baker
Book, 1979.
Westermann, Claus. GENESIS. Grand Rapids: W.B Eermands, 1987.
Morris, Leon. The
Gospel According to St. Luke. Grandrapids: W. Eerdmans, 1975.
Tong, Stephen. Dosa dan Kebudayaan. Surabaya: Momentum,
2009.
End, Th.van den.
Surat Roma. Jakarta: BPK, 1997.
Ryle, J.C. Expository
Thoughts on John. Edinburg: The
Banner, 1989.
Barclay, William.
The Gospel of John Vol2. Philadelphia: Wesminster Press, 1975.
Bruce,F.F. Tyndale
New Testamen Comentaries: ROMA. Grand Rapid: Eerdmans, 1990.
Haenchen, Ernst. Hermeneia:
John vol 1. Philadelphia, Fortress Press, 1980.
SUMBER INTERNET
www.jpnn.com
Faktaunik.wordpress.com
www.indonesia.travel/id/destination/477/tana-toraja/article/29/toraja-s-social-life-and-ritual-cycle
www. Jurnalmahasiawa.filsafat.ugm.ac.id
www.kidnesia.com
rumahadat.blog.com
vaniariayanti.blogspot.com
Majalah.tempointeraktif.com
Terima kasih pencerahannya.TYM
BalasHapusSaya selalu berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan peminjam yang meminjamkan uang tanpa membayar terlebih dahulu.
BalasHapusJika Anda mencari pinjaman, perusahaan ini adalah semua yang Anda butuhkan. setiap perusahaan yang meminta Anda untuk biaya pendaftaran lari dari mereka.
saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah SUZAN INVESTMENT COMPANY. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir Rp35 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.
Pembayaran yang fleksibel,
Suku bunga rendah,
Layanan berkualitas,
Komisi Tinggi jika Anda memperkenalkan pelanggan
Hubungi perusahaan: (Suzaninvestment@gmail.com)
Email pribadi saya: (Ammisha1213@gmail.com)
Terlarangnya kebo bule, https://amarmaruf-nahimungkar.blogspot.com/2019/01/ngelap-berkah-dari-kebo-bule-kyai.html
BalasHapus