Translate

Selasa, 15 Agustus 2017

Upacara Kematian "Rambu Solo" & Iman Kristen

“RAMBU SOLO’” SEBUAH FENOMENA BUDAYA DIKALANGAN MASYARAKAT KRISTEN SUKU TORAJA
—TANGGAPAN ALKITABIAH TERHADAP NILAI NILAI BUDAYA RAMBU SOLO’—
Oleh : Astri Kristiani, dkk.

I.                   PENDAHULUAN
Indonesia adalah sebuah Negara dengan ragam potensi wisata yang luarbiasa. Salah satu potensi besar yang dimiliki adalah kekayaan adat dan budayanya. Ini adalah sesuatu yang sedemikian banyak di Indonesia. Seberapa banyaknya itu, sama dengan banyaknya jumlah suku suku bangsa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia; dari Sabang sampai Merauke. Tentang berapa banyaknya jumlah suku suku yang ada di Indonesia, Jawa Pos National Network (JPNN) menyatakan bahwa keseluruhan masyarakat Indonesia terdiri dari 1.128 suku bangsa. Data ini sesuai dengan hasil sensus terakhir Badan Pendataan dan Sesus Penduduk (BPS) Indonesia tahun 2010. Berdasarkan jumlah itu, maka sangat tepat jika Indonesia disebut sebagai satu Negara dengan potensi budaya yang sangat besar. Itulah mengapa sejak lama Indonesia telah dijadikan sebagai Negara tujuan wisata oleh para wisatawan yang datang dari hampir seluruh Negara di dunia. Mereka demikian tertarik datang ke Indonesia, antara lain, karna ingin menyaksikan sendiri kekayaan ragam budaya yang ada Indonesia. Salah satunya, mendatangi dan menyaksikan kekayaan ragam budaya suku Toraja. Inilah salah satu suku yang telah sejak lama ditetapkan sebagai tujuan wisata di antara sekian banyaknya suku suku di Indonesia. Hal itu terlihat dari tingginya angka kunjungan wisata turis mancanegara ke Tanah Toraja.
Suku Toraja adalah suku yang berdiam di bagian Selatan wilayah Sulawesi. Selama ratusan tahun, mereka telah tinggal dan berkembang di daerah yang kemudian disebut juga “Tana Toraja”, sesuai dengan nama suku mereka. Sebagaimana suku suku lainnya di Indonesia, suku Toraja juga memiliki banyak ragam adat dan budaya yang secara ketat, masih terjaga dan menjiwai seluruh kehidupan masyarakat suku ini. Diantara sekian banyaknya adat budaya di dalam suku ini, budaya “Rambu Solo’” adalah yang paling sering menjadi perhatian. Hal itu bukan saja karena memang menarik untuk disaksikan, tetapi juga karena demikian unik untuk sesuatu yang masih tetap terpelihara di dalam jaman ini.
Pada dasarnya, budaya merupakan warisan dari sekelompok masyarakat yang diajarkan turun temurun kepada generasi selanjutnya. Didalamnya terkandung nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dianut generasi sebelumnya dan mendasari perilaku yang dianut kelompok tersebut. Demikian pula halnya dengan budaya Rambu Solo’. Di dalam budaya ini, pastilah terdapat nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai nilai tersebut adalah juga warisan dari leluhur yang diyakini sebagai kepercayaan turun temurun dari masyarakat suku Toraja dari sejak dahulu.
Nilai nilai itulah yang akan dibahas lebih jauh di dalam makalah ini. Sedapat mungkin, semua nilai nilai yang terkandung dalam setiap tahap upacara pemakamam Rambu Solo’ yang membuatnya begitu unik, akan dibicarakan disini. Dibagian lain, akan juga dibicarakan tentang pandangan  orang Toraja masa kini mengenai signifikasi nilai nilai ritual tersebut serta bagaimana pandangan Firman Allah terhadap kelanjutan pelaksanaan ritual ritual tersebut. Bagian yang terkhir ini menjadi sangat penting, mengingat mayoritas masyarakat suku Toraja, telah sejak lama juga menjadi penganut keyakinan Kristen. Tentu saja dalam kurun waktu yang panjang, Firman Tuhan telah berbicara kepada mereka. Perjumpaan antara Firman Tuhan dan ritual Rambu Solo’ adalah hal yang sangat menarik untuk dibicarakan.

II.                PEMAPARAN FENOMENA BUDAYA RAMBU SOLO’
Rambu Solo’ adalah upacara besar ritual kesukuan yang dilaksanakan setiap kali ada anggota masyarakat Toraja yang meninggal dunia. Upacara ini tidak dilaksanakan untuk semua anggota masyarakat suku Toraja. Umumnya, hal ini hanya dilaksanakan terutama bagi anggota keturunan bangsawan. Kalaupun hal ini akan diberlakukan kepada masyarakat umum, hal itu hanya terbatas kepada mereka yang memang dipandang berkemampuan dalam hal ekonomi. Namun demikian, kalaupun itu bisa, pelaksanaannya dilaksanakan dalam aturan yang berbeda dengan kaum bangsawan. Mengapa demikian, oleh karena selain upacara pemakaman ini memang diperuntukan bagi penghormatan kepada pemuka suku, upacara ini juga dilakukan untuk menyatakan perbedaan derajat diantara anggota masyarakat suku Toraja. Dalam hal ini, keturunan bangsawan tetaplah bangsawan meskipun secara ekonomi tidak mampu. Sebaliknya, rakyat biasa, tetaplah rakyat biasa meskipun berkempauan ekonomi sangat tinggi. Perbedaan diantara mereka akan terlihat jelas dalam proses pelaksanaan seluruh tahapan upacara Rambu Solo’. Bagi orang Toraja, derajat kebangsaan lebih penting daripada derajat kekayaan.
Dalam pelaksanaan acaranya sendiri, upacara ini demikian rumit –bahkan oleh sementara pengamat budaya, ritual ini dianggap sebagai ritual yang paling rumit di dunia dan membutuhkan biaya yang sangat besar. Biaya yang dibutuhkan, antara puluhan sampai ratusan juta. Jumlah itu bahkan dapat menyentuh angka miliaran rupiah jika dilaksanakan atas kematian seorang yang sangat terhormat dan berkempauan ekonomi sangat tinggi. Mengapa rumit, oleh karena ini adalah sebuah ritual, bukan hanya upacara biasa. Di dalam pelaksanan ritualnya, upacara ini memiliki tahap tahapan yang demikian kompleks. Dimulai dari MA‘TUDAN, ME’BALUN (yakni proses pembungkusan jenazah dengan menggunakan kain merah yang sangat banyak), MA‘ROTO (yakni pembubuhan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah), MA‘POPENGKALO AL’ANG (yakni penurunan jenazah ke lumbung atau rumah adat Tongkonan untuk disemayamkan), sampai kepada pelaksanaan upacara  MA‘PALAO (proses pengusungan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir). Setiap tahap-tahapan yang ada, memiliki tata cara tersendiri. Hal itu masih ditambah lagi dengan berbagai upacara di antara upacara upacara yang ada. Antara lain, upacara penerimaan tamu dan pencatatan sumbangan. Upacara MA’BADONG atau peratapan dan upacara perarakan. Kesemuanya itu dilakukan dalam berbagai aturan aturan adat yang demikian rumit.
Lalu mengapa mahal, hal itu bukan saja oleh karena seluruh rangakaian upacara ini memang membutuhkan biaya besar, tetapi juga oleh karena adanya kewajiban penyembelihan hewan kerbau dan babi. Terutama kerbau, hal ini sama sekali tidak boleh dilewatkan. Ini adalah salah satu syarat adat yang paling penting di dalam pelaksanaan adat Rabu Solo’. Sementara harga kerbau itu sendiri demikian mahalnya. Seekor kerbau bisa berharga puluhan hingga ratusan juta rupiah. Bahkan jika kerbau khusus, yakni apa yang disebut sebagai kerbau “Putih”, harganya dapat mencapai angka miliaran rupiah. Karena semua aturan ini, maka upacara Rambu Solo’ menjadi satu budaya yang sangat sangat mahal tetapi juga sangat menarik untuk disimak dan dibicarakan lebih lanjut. Apa yang dalam kesempatan ini akan kami bicarakan lebih jauh adalah, tiga fenomena penting dari pelaksanaan upacara ritual Rambu Solo’ ini. Ketiga fenomena tersebut ialah, fenomena rumah Tongkonan, fenomena penyembelihan kerbau dan fenomena bentuk bentuk pemakaman yang di laksanakan.

A.    FENOMENA RUMAH TONGKONAN
  Puncak dari seluruh prosesi Rambu Solo’ ialah pelaksanaan satu prosesi yang disebut juga   UPACARA RANTE. Sebagai acara puncak, upacara ini akan dilaksanakan di sebuah lapangan besar. Maksudnya ialah, selain bisa melaksanakan beberapa rangkaian ritual lain yang harus dilakukan dan membutuhkan ruang gerak yang lebih besar, itu juga dimaksudkan agar dapat menampung banyaknya tamu tamu pihak keluarga yang datang untuk mengikuti prosesi itu. Hal itu, yakni kedatangan kaum kerabat, sendiri merupakan satu keharusan oleh karena dalam aturan adat suku Toraja, ada satu kewajiban untuk datang ke tempat prosesi untuk melakukan dua hal. Untuk menunjukan rasa hormat yang besar terhadap kaum keluarga yang berduka dan untuk menyatakan dukungnya bagi keluarga dengan cara memberikan baik sejumlah uang, maupun sejumlah ternak. Karena itulah, kaum keluarga akan melakukan upacara penyambutan terhadap mereka, mencatat dengan jelas segala pemberian mereka dan memberikan tempat khusus, yang memang sudah dibuat untuk mereka. Setelah seluruh kaum kerabat telah hadir  maka prosesi puncak, upacara RANTE siap dilaksanakan.
Hal itu dimulai dengan mengarak jenazah yang telah terbungkus kain, ke dalam rumah Tongkonan untuk disemayamkan beberapa waktu lamanya. Berbagai ritual kemudian dilakukan mengiringi dinaikkannya jenazah ke dalam rumah Tongkonan yang dibuat demikian tinggi dengan puluhan bahkan ratusan anak tangga. Setibanya dipuncak, seluruh kaum keluarga yang biasanya telah berpakaian adat, akan melaksanakan ritual tarian ratapan atau MA’ BADONG. Hal ini terus dilakukan secara bergiliran dengan diiringi tabuhan alat musik tradisional suku Toraja, selama jenazah masih berada di persemayaman rumah Tongkonan. Disini, yang terpenting ialah, keberadaan jenazah yang sedang disemayamkan di rumah Tongkonan tersebut. Memang benar ada beberapa ritual ritual yang dilakukan sementara jenazah masih di dalam rumah Tongkonan, tetapi rumah Tongkonan adalah hal paling utama yang menjadi semesta dalam seluruh prosesi tersebut. Mengapa demikian, oleh karena rumah inilah yang memegang peranan penting bagi kelangsungan eksistensi yang telah meninggal tersebut. Fakta ini, selalu saja menimbulkan pertanyaan yang mempertanyakan tentang, apakah rumah Tongkonan itu, dan mengapa keberadaannya demikian fital dikalangan orang suku Toraja. Pertanyaan tersebut adalah perntanyaan umum para wisatawan yang menyaksikan puncak ritual Rambu Solo’ ini.
Mari kita melihat lebih dekat Fenomena Rumah Tongkonan ini. Tongkonan adalah rumah adat suku Toraja dengan beberapa ciri ciri khusus. Pertama, seluruh bagian kontruksi rumahnya, terbuat dari kayu, tanpa sedikitpun unsur logam. Kedua, model rumahnya adalah rumah panggung dimana kolong dibawahnya, biasa difungsikan sebagai kandang kerbau. Ketiga, atapnya terbuat dari ijuk hitam dan bentuknya melengkung persis seperti perahu telungkup dengan buritan. Ada juga yang mengatakan bentuknya seperti tanduk kerbau. Keempat, adanya ukiran khas Toraja. Hal itu bermakna hubungan masyarakat Toraja dengan pencipta-Nya, dengan sesama manusia (lolo tau), ternak (lolo patuon), dan tanaman (lolo tananan). Ukiran tersebut digunakan sebagai dekorasi eksterior maupun interiornya. Kelima, adanya kepala kerbau menempel di depan rumah dan tanduk-tanduk kerbau pada tiang utama di depan setiap rumah. Jumlah tanduk kepala kerbau tersebut berbaris dari atas ke bawah dan menunjukan tingginya derajat keluarga yang mendiami rumah tersebut. Di sisi kiri rumah yang menghadap ke arah barat dipasang rahang kerbau yang pernah di sembelih. Di sisi kanan yang menghadap ke arah timur dipasang rahang babi. Dan keenam, bagaimanapun kontur tanahnya, atau posisi rumah tinggal kaum keluarganya –walaupun tidak jarang juga yang menggunakan Tongkonan sebagai rumah tinggal—rumah Tongkonan harus berdiri, mengarah ke utara. Karena itulah, seluruh rumah Tongkonan yang berdiri dan berjejer di wilayah tinggal orang suku Toraja akan berdiri menghadap arah utara. Demikianlah ciri ciri khusus Tongkonan, rumah adat suku Toraja ini.
Selanjutnya, mari kita melihat apa arti dari kata “Tongkonan” yang menjadi nama dari rumah adat ini. Tongkonan berasal dari kata “tongkon” yang bermakna “menduduki” atau “tempat duduk”. Dikatakan sebagai tempat duduk karena dahulu Tongkonan menjadi tempat berkumpulnya bangsawan Toraja yang duduk untuk berdiskusi. Dari diskusi tersebut, lahirlah segala keputusan atau kebijakan para bangsawan yang akan mengatur seluruh praktik kehidupan masyarakat suku Toraja. Dengan arti demikian, maka rumah adat awalnya difungsikan sebagi pusat pemerintahan, kekuasaan adat, sekaligus perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Toraja. Karena itulah, sampai hari ini, kendatipun bentuk pemerintahan telah berubah, sentralitas rumah Tongkonan sebagai pusat hidup suku Toraja, masih terjaga.
Lebih jauh, selain arti hurufiah tersebut, rumah Tongkonan juga memiliki arti spiritual. Dalam kepercayaan orang orang suku Toraja, mereka meyakini bahwa Tongkonan yang pertama itu dibangun oleh Puang Matua atau Sang pencipta di Surga. Kepercayaan ini juga mendasari mengapa mereka disebut sebagai orang “Toraja”. Secara etimologis, kata “Toraja” berasal dari bahasa Bugis “to riaja” yang berarti “orang yang berdiam dinegeri atas”. Pengartian itu sendiri didasari oleh keyakinan orang Toraja bahwa leluhur mereka dahulu berasal dari surga, tanpa diciptakan dari unsur tanah. Mereka kemudian turun langsung ke bumi melalui rumah Tongkonan dan melahirkan generasi orang Toraja yang ada saat ini.   Pengertian inilah yang kemudian mendasari demikian fitalnya rumah Tongkonan bagi spiritual orang Toraja. Inilah satu satunya saksi asal usul mereka dan bukti keberadaan leluhur mereka. Itulah juga yang mendasari mengapa rumah adat Tongkonan tidak dapat dimiliki secara individu, tapi diwariskan secara turun-temurun oleh marga suku Toraja. Dalam hubungannya dengan ritual Rambu Solo’, arti kedua inilah yang paling mendominasi. Karena arti itu pulalah, tidak akan mungkin prosesi Rambu Solo’ tanpa rumah Tongkonan.
B.     FENOMENA PENYEMBELIHAN KERBAU DAN BABI
Setelah jenazah telah disemayamkan di dalam Tongkonan, ritual yang dilakukan berikutnya adalah ritual penyembelihan hewan kerbau dan babi. Dalam pelaksanaannya,  ritual penyembelihan hewan-hewan ini dilakukan di depan Tongkonan, tempat dimana jenazah itu disemayamkan. Proses penyembelihannya sendiri dilakukan dengan cara berdiri, lalu mengangkat kepala kerbau dan babi setinggi tingginya, lalu dengan sekali tebasan di lehernya yang terbuka—sedapat mungkin tidak sampai dua atau tiga kali tebasan—kepala kerbau dan babi itu dipisahkan dari tubuhnya. Seluruh proses itu dilakukan dengan iringan musik dan tari tarianan para pemuda, yang menari nari sambil menangkap darah yang muncrat dari leher kerbau dan babi tersebut, menggunakan bambu panjang. Selanjutnya,  kepala kerbau dan babi yang telah terpisah dari tubuhnya itu, dijajarkan di padang (rente) menunggu pemiliknya yang sedang dalam "masa tertidur" di dalam Tongkonan. Lalu sebagian daging kerbau dan babi tadi, dilemparkan ke berbagai arah penjuru angin untuk memberi penghormatan ke seluruh wilayah Tongkonan tempat persemayaman sang pemilik dan sebagian lagi diberikan kepada para tamu yang datang. Apa yang mereka terima itu, kemudian dicatat dan akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.
Jumlah kerbau dan babi yang disembelih biasanya disesuaikan dengan kekayaan yang dimiliki orang tersebut yang meninggal. Semakin terhormat dan mapan tingkat ekonomi  seseorang, maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Yang menarik, di dalam penyembelihan hewan tersebut, jika ada kerbau yang berkulit putih atau yang biasa juga disebut kerbau “bule” yang turut disembelih, maka hal dengan sangat jelas menunjukkan tingkat kekayaan seseorang. Karena itu, dalam prosesi ini, kerbau “bule” akan diperoleh dengan harga yang sangat mahal, bisa mencapai ratusan atau bahkan miliaran rupiah. Terlepas dari itu, prosesi penyembelihan hewan, terutama kerbau adalah hal yang juga sangat fital dalam pelaksanaan upacara Rambu Solo’.

C.    FENOMENA PEMAKAMAN
Akhir dari seluruh prosesi Rambu Solo’ adalah upacara MA‘PALAO. MA‘PALAO sendiri di awali dengan prosesi penurunan jenazah dari Tongkonan dengan melakukan berbagai ritual penurunan. Setelah jenazah tiba di bawah, tanpa sedikitpun boleh menyentuh tanah, prosesi MA‘PALAO siap dilaksanakan. Prosesi itu sendiri adalah prosesi pengarakan jenazah menunju pekuburannya. Di dalam pengarakan itu ditetapkan beberapa aturan yang tidak boleh dilanggar. Antara lain membawa jenazah ke tempat aktivitasnya sehari hari dan mengaraknya kesluruh jalan utama perkampungan. Selain itu, urut urutan kerabat yang mengantar juga harus tertib, dimulai dari keluarga dalam, keluarga luar, para kerabat, lalu masyarakat umum. Ini adalah peraturan peraturan yang tidak boleh dilanggar. Kemudian, sambil arak arakan berjalan, semua masyarakat menyanyikan nyanyian ratapan, diringi tabuhan musik tradisional suku Toraja.
Setibanya di lokasi pekuburan, jenazah diturunkan dengan sangat berhati hati agar jangan sampai menyentuh tanah. Dalam prosesi MA‘PALAO, menyentuh tanah saat jenazah diturunkan, baik dalam prosesi penurunan dari tongokonan, maupun dalm prosesi penguburan, adalah pelanggaran yang sangat serius. Hal itu bukan saja dianggap sebagai tindak penghinaan terhadap yang bersangkutan, tetapi juga dianggap sebagai penghinaan terhadap asal muasal orang Toraja yang bukan berasal dari tanah, tetapi langsung dari sorga. Karena kepercayaan seperti ini, maka tradisi penguburan orang Toraja, dilakukan dalam tiga bentuk:  memasukkan peti jenazah, atau tanpa peti tetapi bungkusan kain yang sangat tebal, kedalam lubang goa, memasukan jenazah ke dalam lubang batu yang sebelumnya telah dipahat dan diukir, atau dengan mengantungnya ditebing menggunakan tali yang dibuat sedemikian rupa. Kesemua cara tersebut adalah untuk menghindari terjadinya persentuhan langsung dengan tanah.
Ada banyak Kuburan di Toraja. Umumnya, mereka menggunakan lubang lubang goa. Tetapi bagi kebanyakan keluarga yang sangat mapan secara ekonomi, menggunakan lubang batu yang sengaja dipahat dan diukir untuk pekuburan. Satu kuburan batu biasanya dimiliki oleh satu keluarga besar, sehingga sebenarnya kuburan-kuburan tersebut adalah milik pribadi yang kemudian dijadikan warisan budaya ataupun tempat wisata. Di depan pekeburan itu biasanya di letakkan juga patung patung yang sangat menyerupai orang yang meninggal tersebut. Ini berfungsi, selain untuk menegaskan yang meninggal itu masih ada, tetapi juga berfungsi sebagai layaknya foto diri untuk menunjukan bahwa dirinya ada di dalam lokasi penguburan itu. Hal ini fital, oleh karena begitu banyaknya jenazah yang letakkan di dalam lubang goa dengan bentuk dan ornament yang sama. Jadi, sekalipun kaum keluarga sulit menemukan kembali dibagian mana dahulu jenazah kerabatnya diletakan, mereka sudah cukup puas dengan melihat patung tau tau-nya. Patung yang sama juga biasa ada di dalam rumah tinggal orang Toraja. Untuk lebih jelasnya, berikut kami akan sedikit menyampaikan beberapa lokasi pengkuburan yang ada di daerah Toraja.
Pekuburan Batu Lemo, Lemo merupakan sebuah kuburan yang dibuat di bukit batu. Bukit ini dinamakan Lemo karena bentuknya bulat menyerupai buah jeruk (limau). Di bukit ini terdapat sekitar 75 lubang kuburan dan tiap lubangnya merupakan kuburan satu keluarga dengan ukuran 3 X 5 M. Untuk membuat lubang ini diperlukan waktu 6 bulan hingga 1 tahun dengan biaya sekitar Rp. 30 juta. Tempat ini sering disebut sebagai rumah para arwah. Di pemakaman Lemo kita dapat melihat mayat yang disimpan di udara terbuka, di tengah bebatuan yang curam. Kompleks pemakaman ini merupakan perpaduan antara kematian, seni dan ritual. Pada waktu-waktu tertentu pakaian dari mayat-mayat akan diganti dengan melalui upacara Ma Nene. Kuburan Batu Lemo ini terletak di sebelah utara Makale, Kabupaten Tana Toraja
Pekuburan Gua Londa, Berada sekitar 5 km ke arah selatan dari Rantepau. Merupakan bebatuan curam di sisi makam khas Tana Toraja. Kita dapat melihat, di tempat yang tinggi dari bukit dengan gua yang dalam dan peti-peti mayat tersebut diatur sesuai dengan garis keluarga. Di satu sisi bukit lainnya, dibiarkan terbuka menghadap pemandangan hamparan hijau. Inilah lokasi pekuburan yang terbesar dengan jenazah yang sangat banyak.
Pekuburan Kambira, Di kuburan ini, bayi yang meninggal sebelum giginya tumbuh dikuburkan di dalam sebuah lubang yang dibuat di pohon Tarra’. Bayi ini dianggap masih masih suci. Pohon Tarra’ memiliki diameter sekitar 80 – 100 cm dan lubang yang dipakai untuk menguburkan bayi ditutup dengan ijuk dari pohon enau. Pemakaman seperti ini dilakukan oleh orang Toraja pengikut ajaran kepercayaan kepada leluhur. Upacara penguburan ini dilaksanakan secara sederhana dan bayi yang dikuburkan tidak dibungkus dengan kain, sehingga bayi seperti masih berada di rahim ibunya.Kuburan ini terletak di Desa Kambira, tidak jauh dari Makale, Tana Toraja
            Demikianlah gambaran tentang bentuk bentuk penguburan orang Toraja. Dengan selelsainya jenazah diletakkan di tempat pekuburannya, maka selelailah seluruh ritual upacara MA‘PALAO. Dengan berakhirnya prosesi MA‘PALAO, maka berakhirlah seluruh rangkaian upacara ritual Rabu Solo’.

III.             PEMAPARAN KONSEPSI TIGA TAHAPAN FENOMENA BUDAYA RAMBU SOLO’

A.    KONSEPSI RUMAH TONGKONAN
Konsep rumah Tongkonan ini dibuat sesuai dengan konsep ajaran warisan leluhur mereka, dimana rumah ini menggambarkan alam kecil dan alam besar atau dunia dalam pemandangan mereka. Konsepsinya antara lain sebagai berikut:
Pertama, bagian atap sama dengan Dunia Atas. Lalu kedua ujungnya yang berbentuk tanduk, khususnya ujung yang menghadap ke utara, menunjuk langsung pada lokasi dimana Puang Matua (Tuhan yang maha tinggi) berada. Ia adalah pribadi yang menjaga keseimbangan siang dan malam, tidak tergantung pada siapa dan apapun, diidentifikasikan sebagai laki laki, berada di atas , terang dan baik.
Kedua, bagian tengah sama dengan Dunia Tengah. Dunia Tengah ini merupakan bagian permukaan bumi, dimana manusia menjalankan kehidupannya dan wajib melaksanakan upacara upacara persembahan dan pemujaan dalam setiap fase kehidupannya. Disini juga tempat merupakan bertemunya dunia atas dan dunia bawah karena dikonotasikan sebagai kerukunan, gotong royong harmonisasi. Dalam ajaran Aluk Todolo –agama suku atau agama animism suku Toraja yang masih banyak dipengang hingga hari ini—keharmonisan merupakan keseimbangan susunan alam, keseimbangan perintah dan larangan, yang mengatur keseimbangan sosial, keseimbangan mobilitas horizontal dan keseimbangan antara timur ,barat, utara dan selatan.
Dan, ketiga, bagian bawah, atau kolong yang ada diantara tiang tiang penyanggah, sama dengan Dunia Bawah. Dunia Bawah yakni suatu tempat yang di anggap berada di bawah air, diidentifikasikan  sebagai bawahan atau tempat buruk (neraka). Tetapi oleh karena ia berada di antara tiang tiang penyanggah yang berhubungan langsung dengan Dunia Tengah, maka keberadaannya ditopang langsung oleh jiwa jiwa yang berada di bumi, yakni Dunia Tengah.
Dalam tradisi kepercayaan orang Toraja, mereka percaya bahwa Tongkonan pertama itu dibangun oleh Puang Matua atau sang pencipta di surga. Dahulu hanya bangsawan yang berhak membangun Tongkonan. Selain itu, rumah adat Tongkonan tidak dapat dimiliki secara individu tapi diwariskan secara turun-temurun oleh marga suku Toraja.
Konsep berfikir inilah yang sangat mendasari mengapa rumah Tongkonan menjadi begitu fital, bahkan menjadi semesta yang menjiwai seluruh tahapan dalam ritual Rambu Solo’.  Ada tiga nilai utama yang benar benar membuatnya tidak dapat ditiadakan. Pertama, nilai kepercayaan terhadap adanya tuhan yang tinggal di tempat mana para leluhur mereka berasal. Dalam ritual Rambu Solo’, nilai ini berfungsi untuk mengkonfirmasi kemana arwah seseorang akan kembali. Kedua, nilai kepercayaan terhadap terjadinya pertemuan di dunia tengah, tempat dimana jenazah dibaringkan. Dalam ritual, nilai ini berfungsi untuk menegaskan terjadinya pertemuan awal dari arwah orang yang jenazahnya sedang disemayamkan dengan para leluhur mereka. Tempat ini, yakni dunia tengah berfungsi menjadi semacam “terminal” awal pertemuan sebelum nantinya akan pergi ke surga, tempat asal mereka. Dan ketiga, nilai kepercayaan bahwa arwah yang bersangkutan tidak akan pergi ke dunia bawah yang buruk, tempat dimana segala susah ada. Dalam ritual, nilai ini dikonfirmasi oleh bentuk Tongkonan yang memang bagian tengahnya dipisahkan langsung dari tanah, simbol dunia bawah.
B.     KONSEP PENYEMBELIHAN KERBAU
Sebagaimana sudah dibicarakan di atas, orang Toraja percaya bahwa arwah orang yang sudah mati tadi, oleh karena diletakkan di dunia tengah, sedang berada di terminal awal untuk menunju ke Puya (surga, tempat asal mereka). Hal ini juga ditegaskan di dalam kepercayaan umum orang Toraja tentang kematian bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba, tetapi merupakan sebuah proses bertahap menuju Puya. Sampai dengan dilaksanakannya ritual Rambu Solo’, arwah orang mati tersebut akan benar benar melakukan perjalanan menuju Puya. Untuk tujuan tersebut, orang Toraja juga percaya arwah tersebut membutuhkan kendaraan untuk, bukan saja dapat sampai ke tempat tersebut, tetapi juga lebih cepat sampai. Karena itulah kerbau menjadi sangat dibutuhkan disini. Kerbau diyakini adalah “kendaraan” khusus yang, bukan saja bisa digunakan, tetapi tidak dapat gantikan dengan hewan lainnya. Semakin banyak kerbau, semakin baik bagi tujuan itu. Bagaimana supaya kerbau dapat dijadikan kendaraan, kerbau tersebut harus disembelih di depan Tongkonan. Itulah mengapa kerbau harus disembelih saat upacara Rambu Solo’. Sementara babi yang juga turut disembelih tidak dipahami dalam pengertian ini, tetapi dalam pengertian memberi penghormatan kepada arwah, sekaligus menyediakan makanan bagi para tamu.
Yang menarik disini ialah, mengapa harus kerbau? Rupanya hal ini berhubungan dengan keyakinan orang Toraja bahwa, dahulu kala, tatkala para leluhur mereka dari sorga datang ke bumi, mereka berjalan dengan “mengendarai” kerbau. Karena itulah, untuk kembali ke surga, ketempat para leluruh mereka berada, arwah seseorang juga harus mengendari kerbau sebagai “kendaraan” yang sama.
Nilai apa yang terkandung dalam konsep ini, sangat jelas. Seseorang membutuhkan kendaraan untuk kembali ke surga. Tapi sangat berbeda dengan keyakinan umumnya keyakinan Teisme, dimana amal dapat berfungsi sebagai pengahantar –atau dalam perspektif tertentu dapat juga disebut kendaraan—orang toraja memandang kerbau sebagai kendaraannya. Perbedaan lain yang sangat menonjol dengan umumnya keyakinan Teisme, orang Toraja tidak memandang kerbau sebagai syarat bisa tidaknya masuk sorga. Kerbau disini dipandang hanya sebatas kendaraan penghantar. Isunya bukan soal “bisa-tidaknya” tetapi soal “cepat-lambatnya”. Berhubung orang Toraja, karena begitu hormatnya kepada yang meninggal, tidak menginginkan perjalanan yang lambat, ditambah lagi dengan adanya kepercayaan tradisi tentang kendaraan para leluhur mereka, maka mereka mengupayakan sebanyak mungkin kerbau untuk mempercepat perjalanan itu. Secara khusus untuk Tedong Bonga—kerbau “bule”—oleh karena bola matanya yang memang berwarna putih, sebagaimana kulitnya, maka orang Toraja percaya bahwa ia akan berjalan jauh lebih cepat ketimbang kerbau jenis lain. Itu karena penglihatannya jauh lebih jelas di dunia akhirat.
Inilah nilai mendasari mengapa kerbau harus disembelih di depan Tongkonan ketika ritual Rambu Solo’ berlangsung.    
C.    KONSEP PEMAKAMAN
Orang Toraja memiliki sedikitnya tiga konsep berfikir tentang pemakaman. Konsep ini selanjutnya menyebabkan mereka memilih bentuk bentuk pemakaman sebagaimana yang ada saat ini. Pertama, pemakanan dimaksudkan untuk menghindarkan masyarakat Toraja dari wabah penyakit, suatu kemalangan yang demikian dihindari. Mengapa demikian, oleh karena orang Toraja—khususnya yang masih menganut kepercayaan animism Aluk Todolo—menganggap bahwa orang yang meninggal layaknya orang sakit. Jadi jika tidak dipindahkan maka arwahnya akan menyebabkan persoalan serius diantara mereka. Lalu, oleh karena dianggap sebagai orang sakit, maka mereka masih dianggap hidup dan perlu dirawat layaknya orang yang masih hidup. Karena itu, umumnya orang Toraja masih menyediakan makanan, minuman, rokok, sirih, atau beragam sesajian lainnya. Lalu sebagai penegasan tentang kehadirannya yang bisa mendatangkan perlindungan akibat terurus dengan baik, maka dibuatkanlah patung tau tau, yakni patung yang sama persis dengan dirinya dan ditempatkan di dalam rumah orang hidup. Tujuannya agar arwah yang sudah mati itu dapat memberi perlindungan kepada kaum keturuannya. 
Kedua, orang hidup masih dapat melakukan sesuatu yang dibutuhkan oleh orang mati. Itulah mengapa Pohon Tarra’ dipilih sebagai tempat penguburan bayi. Mengapa harus pohon tarra’ karena pohon ini memiliki banyak getah yang dianggap sebagai pengganti air susu ibu. Dengan menguburkan di pohon ini, orang-orang Toraja menganggap bayi ini seperti dikembalikan ke rahim ibunya dan mereka berharap pengembalian bayi ini ke rahim ibunya akan menyelamatkan bayi-bayi yang akan lahir kemudian.
Dan, ketiga, bahwa karena masih dianggap hidup, maka orang mati tersebut masih harus diperlakukan secara terhormat. Hal itu terutama didasari pada keyakinan bahwa arwah orang yang telah mati tersebut masih sepenuhnya sadar, terutama tentang asal usulnya yang dari sorga. Karena ia dari sorga, sama seperti kesadaran orang Toraja yang masih hidup, maka ia harus ditempatkan dalam satu posisi yang tidak boleh bersentuhan langsung dengan tanah. Persentuhan itu sama dengan menghubungkannya dengan dunia bawah atau neraka. Hal ini demikian pantang bagi orang Toraja. Hal itu bukan saja sama dengan penghinaan besar, tetapi juga “pelecehan” serius terhadap asal usulnya. Karena itulah mereka akan dikuburkan dengan diletakkan begitu saja dalam sebuah lubang goa dari batu, atau sengaja memahat batu, atau—biasanya hanya untuk bayi—digantung disisi tebing. Disini batu dipandang sebagai yang mewakili fungsi rumah Tongkonan.
Nilai nilai apa yang terkandung di dalam konsep ini, sangat jelas. Sedikitnya ada tiga hal. Pertama, kepercayaan bahwa orang mati, kendatipun ia sudah berada di Puya, ia masih dapat berintervensi terhadap kehidupan kaum keturunannya. Entahkan untuk “memberkati” ataupun untuk “menghukum”.  Karena itulah, ia harus diperlakukan layaknya seorang yang masih hidup diantara kaum keluarganya. Sekali lagi, itu karena ia masih dapat berbuat sesuatu bagi kehidupan di dunia. Kedua, penghormatan, dimana orang hidup, kendatipun secara fisik sudah terpisah, masih bisa melakukan tindakan pemeliharaan terhadap arwah orang mati. Terutama karena didorong oleh motif penghormatan, walaupun ada juga motif rasa sayang, ataupun ketakutan, mereka dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi arwah orang mati. Ketiga, nilai proklamatif, dimana baik orang hidup maupun orang mati, sama sama harus selalu menyatakan darimana asal mereka. Tidak perduli dari latar belakang ekonomi apa ia berasal, ia harus dinyatakan sebagai seorang yang dari surga.
Inilah ketiga hal yang sangat mendasari mengapa orang Toraja harus menguburkan dengan cara cara yang tidak boleh bersentuhan langsung dengan tanah dan mengapa harus selalu ada patung orang yang telah meninggal tadi.
IV.             TANGGAPAN ALKITABIAH TERHADAP PELAKSANAAN DAN KONSEP NILAI BUDAYA RAMBU SOLO
Sebagai salah satu aset kekayaan di Indonesia, budaya Rambu Solo’ demikian penting untuk dilesatarikan. Bukan saja karena dapat memberikan keuntungan besar bagi sektor pariwisata Indonesia, tetapi juga karena ini memang salah satu warisan leluhur yang sangat berharga dan telah berlangsung dalam kurun waktu yang sangat panjang. Karena itulah tradisi ini menjadi sangat berharga bagi semua orang Toraja. Bagi masyarakat suku Toraja sendiri, membicarakan bagaimana pentingnya hal ini bagi mereka, itu sama pentingnya dengan membicarakan jati diri mereka sendiri. Bagi mereka, ritual Rambu Solo’ adalah satu satunya peristiwa adat yang berisi seluruh nilai ke-Toraja-an mereka. Setiap kali ritual ini dilaksanakan, seluruh nilai jati diri mereka sebagai “to riaja” diprokalamasikan dan dikonfirmasikan kembali kepada semua mereka. Inilah satu satunya peristiwa adat yang paling menentukan bagi seluruh eksistensi mereka. Membicarakan Rambu Solo’ sama dengan membicarakan Toraja itu sendiri. Tanpa Rambu Solo’, tidak ada ke-toraja-an itu. Dalam perspektif demikian, maka kita semua menjadi jelas bahwasannya lebih dari sekadar sebuah rutinitas budaya, ritual Rambu Solo adalah segala galanya bagi orang Toraja. Mereka akan hidup, bekerja dan mendapatkan sebanyak banyaknya hasil demi dapat melangsungkan ritual ini. Ada rasa malu yang besar jika seorang Toraja tidak dapat melaksanakan ritual ini ketika dirinya, atau salah satu kerabat dekatnya meninggal dunia. Untuk perasaan itu, orang Toraja bahkan tidak menyangkali jika dikatakan bahwa mereka “hidup untuk kematian!”.
Memperhatikan urgensi ini, khususnya dalam konteks kehidupan orang Toraja masa kini, secara langsung akan menimbulkan beberapa pertanyaan serius. Antara lain, masih tepatkah prinsip itu dipertahankan dan dipengang erat? Ini bukan saja karena mengingat bahwa jaman ini sudah demikian modern untuk sebuah tradisi yang telah berlangsung sangat lama, tetapi juga karena umumnya orang Toraja masa kini adalah penganut Kristen Protestan. Apakah atau adakah relevansi ajaran Kristen terhadap ritual Rambu Solo’? Dapatkah keduanya berjalan sejajar, sebagaimana yang hari ini terjadi di kalangan masyarakat Kristen Toraja? Dari perspektif ajaran Kristen Prostestan yang kesemuanya dibangun berdasarkan Alkitab, setegas tegasnya jawabannya adalah, tidak. Tidak dalam arti, sama sekali tidak memiliki relevansi. Untuk itu, berikut kami akan menyajikan beberapa point sebagai jawaban.
1.      Semua manusia ada sebagai yang diciptakan Tuhan, bukan sudah ada sejak dari kekekalan.
Datang sebagai yang berasal dari kekekalan—puya;surga—adalah keyakinan terpenting dari agama kuno suku Toraja. Inilah tema utama yang menjiwai seluruh pelaksanaan ritual Rambu Solo’.Dapat dikatakan bahwa maksud dari seluruh ritual ini adalah upaya mengembalikan seorang yang dari surga kembali ke tempat asalnya. Karena itu, semua upaya, baik itu persemayaman, penyembihan kerbau, perarakkan, maupun tata cara pemakaman, seluruhnya dipikirkan sedemikian rupa, agar yang bersangkutan dapat kembali dengan “selamat” ke tempat asalnya. Apa yang paling menonjol dari pandangan ini adalah, bahwa manusia tidak bermula sebagai yang diciptakan Tuhan. Semua orang Toraja—baca:yang berasal dari langit—adalah manusia manusia yang ada begitu saja, tanpa melalui proses penciptaan. Hal ini lebih lagi ditegaskan di dalam tatacara penguburan mereka. Sebagaimana sudah dibicarakan di atas, bahwa merupakan suatu kesalahan serius jika jenazah orang Toraja itu menyentuh tanah. Jika itu terjadi, itu sama saja dengan penghinaan besar terhadap asal usul orang bersangkutan. Apa yang sebenarnya hendak ditekankan disini adalah, orang Toraja tidak pernah bermula sebagai ciptaan. Tanah, selain sebagai yang menggambarkan dunia bawah, juga menunjuk kepada materi dasar dari semua mahluk yang diciptakan. Karenanya, menyentuhkan jenazah ke tanah, dipandang sama dengan menganggapnya sebagai ciptaan yang dari tanah. Ini sama sekali tidak boleh terjadi.
Boleh jadi bahwa pandangan ini memang dianggap benar di dalam keyakinan animis suku Toraja kuno. Tetapi pandangan ini sama sekali tidak sejalan dengan keyakinan di dalam ajaran Kristen. Sejak awal—khusus di pasal pasal awal kitab Kejadian—ketika Alkitab membicarakan permulaan dari seluruh ciptaan, manusia juga termasuk diantara yang diciptakan itu. Menariknya, berbeda dengan ciptaan yang telah ada sebelumnya,  penceritaan tentang penciptaan manusia dibicarakan demikian detail. Mulai dari bagaimana Allah memikirkan seperti apa manusia harus dijadikan, untuk tujuan apa ia diciptakan, lalu penetapan debu tanah sebagai materi dasar penciptaannya, sampai pada bagaimana Allah sendiri meniupkan kehidupan didalam dirinya—Kej 1:26; 2:7. Apa yang mau ditekankan disini adalah, bahwa manusia benar benar berangkat dari satu permulaan sebagai yang diciptakan dari debu tanah. Sampai pada terbentuknya dari ia materi itu, manusia belum juga memiliki kehidupannya sendiri. Nanti setelah Allah yang meniupkan kehidupan, barulah ia memilikinya dan memulai seluruh kehidupannya, terutama bertambah banyak sebagaimana tujuan mekanisme bilogis yang memang diciptakan di dalam dirinya. Sampai disini, jelas. Dengan cara yang sangat jelas, Alkitab menegaskan bahwa kehidupan manusia itu memiliki permulaan dan permulaannya sendiri berawal dari tanah. Ia tidak pernah datang dari sebuah kekekalan yang tanpa permulaan. Jika demikian, ia dapat saja menyamakan dirinya dengan Tuhan dan karenanya, bisa bertindak layaknya Tuhan. Ini bukan merupakan tujuan dari eksistensi manusia, sebagaimana padangan Alkitab. Alkitab dengan jelas menegaskan tujuan manusia hidup ialah untuk menunaikan mandat Ilahi dan bergantung sepenuhnya kepada Allah sendiri.
Jadi, jika melihat kedua perspektif ini, nampak jelas adanya perbedaan konsep yang demikian tajam diantaranya. Konsepsi apa yang terdapat di dalam ajaran Alkitab, secara total berlawanan dengan seluruh konsep yang ada dibelakang ritual Rambu Solo’. Keduanya bukan saja tidak memiliki relevansi satu sama lain, tetapi juga memang berbeda secara total.  
2.      Tidak ada hubungan antara dunia orang hidup dengan dunia orang mati.
Manusia dapat berbuat sesuatu bagi orang yang telah meninggal, sebagaimana halnya orang meninggal bisa melakukan sesuatu—baik yang sangat merugikan, maupun menguntungkan—kepada orang hidup. Demikian prinsip utama yang mendasari mengapa orang Toraja, bukan saja terikat pada ketakutan besar tetapi juga harus menjalankan seluruh ritual Rambu Solo’ ini. Mengapa anggapan semacam ini bisa timbul, oleh karena mereka menganggap orang yang sudah mati itu sebenarnya masih hidup. Oleh karena ia masih hidup, maka masih bisa terjadi interaksi langsung antara orang hidup dan orang mati. Apa yang bisa dilakukan oleh orang hidup terhadap orang mati adalah, mengupayakan segala sesuatu yang sangat dibutuhkan bagi “lancarnya” perjalanan pulang itu. Apa yang dapat dilakukan orang mati terhadap orang hidup, tergantung bagaimana orang hidup memperlakukan jasadnya. Jika diperlakukan dengan baik, maka akan memberkati dan melidungi. Jika diperlakukan secara buruk, maka bisa mendatangkan masalah serius di dalam kehidupan orang hidup. Keyakinan ini kemudian diwujudkan dengan pembuatan patung patung orang mati—tau tau—yang ditempatkan di dalam rumah  orang hidup. Patung patung ini dipandang sebagai monumen yang menegaskan perjumpaan orang hidup dan orang mati.
Dari perspektif Alkitab, pandangan ini sama sekali tidak Alkitabiah. Di dalam Alkitab tercatat, Kristus secara khusus memberikan perhatian untuk hal ini. Diantara sekian banyak pengajaranNya, Kristus juga memaparkan satu perumpamaan yang, sedikit dikitnya, memberikan gambaran kongkrit tentang bagaimana fakta hubungan orang mati dan orang hidup. Hal itu terdapat di dalam kisah Lazarus dan orang kaya—Luk 16:19-31. Dibagian penutup dari kisah ini, diungkapkan keinginan orang kaya—dalam situasi dirinya berada didalam dunia orang mati—untuk sekiranya dapat berbuat sesuatu bagi saudara saudaranya di dalam dunia orang hidup. Tetapi hal itu tidak dimungkinkan, oleh karena, layaknya jarak tak terseberangi antara dirinya dan Lazarus, demikian pula tak mungkinnya menjalin hubungan antara orang mati dengan orang hidup. Apa yang hendak ditekankan disini ialah, tidak ada satu kemungkinan, bahkan yang terkecil sekalipun, untuk seorang yang telah mati melakukan sesuatu kepada orang hidup. Demikian pula halnya dengan orang hidup yang juga tidak dimungkinkan untuk berbuat sesuatu bagi orang mati.
Kondisi ini semakin ditegaskan di dalam pembicaraan tentang tidak mungkinnya ada hubungan antara orang kaya tersebut dengan Lazarus—kendatipun mereka berada dalam konteks yang sama, terpisah dari dunia orang hidup. Dalam hal ini, jangankan berhubungan dengan dunia orang hidup, berhubungan dengan Lazaruspun, sama sekali tidak dimungkinkan. Sebagaimana pandangan Morris, apa yang hendak ditekankan disini adalah, keterpisahan antara dunia orang hidup, tempat kebahagiaan dan tempat penghukuman adalah keterpisahan kekal dan total. Kekal oleh karena tidak adanya waktu untuk merevisi apapun dan total oleh karena tidak adanya kemungkinan untuk membangun hubungan apapun.
Jadi, sama seperti kesimpulan di atas, pada konsepsi inipun terlihat perbedaan mendasar antara pandangan Alkitab dan pandangan dibelakang ritual Rambu Solo’. Esensi perbedaan itu sendiri demikian tajamnya. Bukan saja bicara tentang bagaimana nilainya, tetapi juga bicara tentang ekspresi sikapnya. Dengan pandangan Alkitab, seseorang sama sekali tidak dapat berbuat apapun terhadap orang mati; baik berfikiran maupun melakukan sesuatu. Ada jarak yang bukan saja jelas, tetapi juga total diantara mereka. Untuk itu, apapun yang disebut sebagai aktivitas bagi orang mati dalam kaitan dengan relasi saling sadar di antara mereka, sama sekali tidak dapat dibenarkan.
3.      Karena semua manusia telah berdosa, maka Kristus adalah satu satunya jalan menuju kehidupan kekal, bukan kerbau.
Satu hal yang sangat menarik dalam mencermati konsepsi apa yang terdapat dibelakang ritual Rambu Solo’ ialah, sama sekali tidak dijumpai pengajaran ataupun peringatan terhadap dosa. Hal ini dengan sangat jelas mengindikasikan bahwa dosa bukan saja tidak penting dalam pemahaman suku Toraja kuno, tetapi juga dianggap tidak ada. Karena itu, dosa tidak pernah nampak, baik sebagai agenda ajar maupun agenda peringatan, di dalam seluruh ekspresi mereka. Mengapa bisa demikian, sekali lagi ini berkaitan erat dengan keyakinan asal usul mereka. Oleh karena mereka meyakini bahwa mereka berasal dari sorga, maka neraka bukanlah tujuan mereka. Dalam hal ini, baik sorga maupun neraka hanya dipandang dalam kaitannya dengan tujuan yang berhubungan dengan asal usul. Disini, sama sekali tidak ada unsur konsekuensi tindakan. Karena itu, sekalipun mereka juga mengakui adanya neraka, tetapi oleh karena tidak berasal dari sana, maka—seberdosa apapun dia—mereka tidak akan pernah menuju ke nereka. Pendeknya, mereka meyakini bahwa neraka bukanlah tujuan mereka, oleh karena mereka tidak pernah berasal dari sana. Sebalik sorga, oleh karena merupakan tempat asal mereka, pasti menjadi tujuan akhir mereka, seberdosa apapun dia menurut pandangan Kristen.  Dalam perspektif demikian, maka dosa menjadi sama sekali tidak penting dan tidak menempati posisi apapun dalam pemahaman mereka.
Dalam kategori fikir semacam ini, kerbau mengambil alih posisi penting, sebagaimana pentingnya Kristus di dalam keyakinan Kristen. Oleh karena surga sepenuhnya hanya berkaitan dengan asal usul dan tujuan akhir, maka kerbau menjadi fital sebagai “pengantar” yang dipandang efektif. Disini yang menonjol adalah keyakinan bahwa kerbau adalah jawaban bagi persoalan tujuan akhir mereka. Seburuk apapun ia menjalani kehidupan, asal ada kerbau, semua urusan menyangkut hidup kekal, teratasi. Sangat mungkin, bahwa inilah konsepsi yang mendasari mengapa rata rata orang Toraja memiliki lebih dari satu ekor kerbau. Pertanyaannya adalah, benarkah bahwa semua orang Toraja adalah manusia tanpa dosa? Jika jawabannya “Ya”, benar benar sebuah penipuan yang sangat fatal.  Bagaimanapun juga, dari dasar hati yang terdalam, semua orang—termasuk juga orang Toraja—pasti tahu bahwa dirinya memang berdosa. Dalam kapasitas seperti itu, seseorang sama sekali tidak membutuhkan kerbau. Sama sekali tidak terdapat relevansi apapun juga antara manusia berdosa dengan kerbau. Dilihat dari sudut pandang Alkitab—atau sudut pandang logika rasionalpun sama—ini sama sekali tidak dapat diterima. Manusia dan kerbau adalah dua ciptaan yang secara esensial sangat berbeda. Manusia memiliki gambar Allah, karenanya ia memiliki aspek kekal sebagai yang bisa dihukum ataupun diampuni, sementara kerbau sama sekali tidak. Bagaimana bisa, yang sama skali tidak memiliki aspek kekal, dapat memberi andil bagi kehidupan kekal? Sekali lagi, ini adalah sesuatu yang tidak dapat diterima.
Alkitab sebagai yang mendasari seluruh ajaran Kristen menegaskan bahwa persoalan terpenting dari manusia adalah dosa. Untuk persoalan ini, manusia sama sekali tidak tidak dapat mengupayakan satupun solusi. “Nasib” semua manusia sudah jelas, menerima hukuman Allah karena dosanya.  Satu satunya peluang bagi keselamatannya adalah anugerah Allah di dalam Kristus. Penegasan itu dinyatakan berdasarkan pengakuan Kristus sendiri. Dalam salah satu pernyataannya, Kristus menegaskan bahwa hanya diriNyalah satu satunya jalan menuju sorga—Yoh 14:6. Hal itu bukan tanpa alasan. Seluruh pernyataan PL tentang jalan yang dikehendaki Allah bagi keselamatan manusia berpusat di dalam dirinya sendiri.  Yang terpenting disini adalah bahwa Kristus adalah Allah sendiri, pencipta manusia yang berkorban bagi penebusan manusia berdosa. Fakta ini sama sekali tidak dapat digantikan oleh kerbau. Kerbau hanya mahluk tanpa arti apapun bagi kehidupan kekal. Sebagaimana hewan lainnya, satu satunya relevansi kematian kerbau adalah agar memudahkan proses pengolahannya sebagai konsumsi manusia. Hanya itu, tidak ada hal lain, apalagi relevansi kekal. Apa yang hendak dikatakan disini adalah, manusia berdosa hanya membutuhkan Kristus sebagai jawaban mengapa ia diampuni dan mendapat bagian di dalam sorga, bukan kerbau.
Jadi, sebagaimana kedua hal di atas, konsepsi ini juga sama sekali berseberangan dengan ajaran Alkitab. Sama sekali tidak ada hubungan yang karenanya dapat menjadi satu alasan mengapa Kekristenan dapat berjalan bersama sama dengan keyakinan yang terdapat didalam ritual Rambu Solo’. Dua hal ini adalah dua hal yang total berbeda, sekaligus total terpisah. Dilihat dari sudut pandang manapun juga, sama sekali tidak ada peluang yang memungkinkannya berjalan bersama sama.               
V.                KESIMPULAN DAN SARAN
Sangat menarik memperhatikan bagaimana Kekristenan—dengan seluruh nilai dan pola pola apa yang ada di dalamnya—berinteraksi dalam konteks adat istiadat suku Toraja. Apa yang paling menarik disana ialah memperhatikan bagaimana kedua nilai ini—kekristenan dan adat istiadat suku Toraja—saling tarik menarik, bahkan seperti saling “berebut” tempat utama di hati masyarakat Kristen suku Toraja. Apa yang terlihat disana ialah ketidak jelasan sistemik yang amat memprihatinkan. Di satu pihak, mereka telah lama meninggalkan agama Aluk Todolo sebagai agama nenek moyang mereka, dipihak lain, mereka tidak dapat melepaskan ritual Rambu Solo’ yang berisi seluruh nilai ke-Toraja-an mereka. Didalam diri seorang Toraja Kristen, fakta ini benar benar merupakan sebuah dilema historis yang telah lama menjadi pergumulan serius dikalangan mereka. Dalam kenyataannya, dilema ini bukanlah fakta mudah yang dapat segera dibereskan. Melihat semua itu, khususnya dalam konteks intraksi orang Kriten Toraja dengan ritual Rambu Solo ini, maka kami dapat menarik tiga kesimpulan umum, sebagai berikut:
1.      Orang Kristen Toraja Telah Lama Sengaja Berkompromi.
Memang benar bahwa bukan semua nilai nilai budaya Rambu Solo’ dapat disebut sebagai yang salah. Tanggapan Alkitabiah juga tidak dimaksudkan untuk mempersalahkan seluruh nilai yang ada. Hal hal khusus seperti kuatnya rasa kekeluargaan, adanya kesadaran untuk menghormati dan adanya kerelaan untuk meringankan beban kaum keluarga yang sedang berduka, adalah nilai nilai penting bukan saja tidak bertentangan dengan ajaran Alkitab, tetapi juga memang patut untuk dipertahankan. Demikian pula hal hal yang menyangkut identitas kesukuan secara umum, misalnya pakaian adat atau rumah adat—hanya dalam arti sebagai ciri kesukuan—juga tidak ada salahnya jika dipertahankan. Tetapi untuk nilai nilai yang umumnya terkandung di dalam konsepsi dari ritual ini—sebagaimana yang sudah dibahas sebelumnya—sama sekali tidak dapat diterima di dalam Kekristenan. Tetapi dalam kenyataannya, apa yang sudah sejak lama terjadi ialah, umumnya masyarakat Kristen Toraja tetap saja terikat pada konsepsi konsepsi ini, tanpa pernah berupaya untuk membedakannya, atau sekadar menjalankannya sebatas kekayaan budaya.
Bagaimana hal itu dapat dipastikan, terlihat jelas dari fakta bahwa hampir seratus persen—kalau bukan seratus persen—orang Toraja tidak dimakamkan di tanah, lalu adanya patung tau tau di kebanyakan rumah rumah orang Toraja, pentingnya hewan kerbau dalam kehidupan mereka—terlihat dari begitu banyaknya tanduk tanduk kerbau yang sengaja diperlihatkan ditiang depan rumah tongkonan—dan fitalnya rumah tongkonan bagi mereka. Hal itu masih ditambah lagi oleh betapa kuatnya motivasi dan kebanggaan diri umumnya orang Toraja terhadap terlaksananya ritual ini. Hal ini dengan begitu jelas memperlihatkan demikian lamanya mereka telah berkompromi dan menganggap semua itu sebagai sebuah kewajaran. Kompromi itu sendiri dapat dipastikan sebagai sebuah kesengajaan oleh karena dapat dipastikan bahwa firman Tuhan telah memperlihatkan perbedaan dan pertentangan konsep di antara kedua hal ini.    
2.      Tidak Adanya Ketegasan Dari Pihak Gereja Kristen Toraja Untuk Menyuarakan Perbedaan Konsepsi Dan Upaya Nyata Untuk Menghentikan semua praktik kompromi ini.
Tak dapat disangkali bahwa budaya Rambu Solo’ adalah sesuatu yang sangat berharga. Karenanya, tidak pula dapat disalahkan jika ada sejumlah orang yang demikian berniat untuk mempertahankan bahkan menjalankannya hingga saat ini. Demikian pula halnya jika ini pandang dari sudut pandang iman Kristen. Secara ekstrnal, iman Kristen tidak sedikitpun merendahkan nilai keberhargaan dari budaya ini, apalagi berniat untuk menghapuskannya dari tatanan kehidupan, khususnya kehidupan orang Toraja. Dalam hal ini, jika dilihat dari perspektif eksternal iman Kristen, persoalannya bukan pada keberharagaan budaya tersebut atau pada niat mempertahankannya. Persoalan sebenarnya ialah terletak pada cara menilai, menghayati dan mengimani segala sesuatu yang berhubungan dengan konsepsi apa yang ada dalam seluruh tahap tahapan budaya Rambu Solo’ ini. Jika pola pola ini terjadi dalam praktik hidup orang Kristen Toraja, hal itu sama dengan upaya internalisasi konsepsi Rambu Solo’ di dalam nilai nilai iman Kristen. Sebagai hasilnya, kekristenan kehilangan originalitas nilainya dan menjadi semacam kekristenan yang sama sekali tidak dikenal. Dalam perspektif tertentu, itu sama saja dengan bukan keristenan sama sekali.
Dengan demikian, maka jika pratik pratik internalisasi seperti ini terus terjadi, sudah jelas bahwa siapapun yang mempertahankan dan mempratikan itu di dalam kehidupannya, ia sama sekali bukan Kristen. Walau dari tampakannya ia menunjukan segala sesuatu yang berhubungan dengan Kristen, sesungguhnya hal itu hanyalah samaran saja. Bagaimanapun juga, kedua hal ini; Iman Kristen dan Budaya Rambu Solo’—yang di dalamnya juga berisi serangkaian nilai nilai keimanan—tidak dapat disandingkan, apalagi dijalankan secara bersama sama sebagai mana yang hari ini terjadi. Persoalannya, suara semacam ini sangat mungkin tidak pernah, atau tidak lagi disuarakan oleh gereja ditengah tengah orang Kristen Toraja. Sangat mungkin juga bahwa gereja turut juga memandang keberhargaan budaya Rambu Solo’ ini beserta seluruh nilai nilai yang ada didalamnya. Dalam hal ini, gereja secara utuh mengadopsi budaya ini dan dengan sengaja membiarkan proses internalisasi nilai ini terus menerus terjadi. Akibatnya, gereja kehilangan daya kenabiannya untuk menyuarakan dan menegaskan perbedaan mendasar diantara kedua hal ini, sekaligus juga kehilangan kemampuan “hukumnya” untuk melakukan tindakan penghentian atas semua pratik yang kompromis itu.
Barangkali saja pernyataan ini menimbulkan satu pertanyaan, bagaimana bisa menarik sampai menarik kesimpulan seperti? Ya, itu sangat rasional, oleh karena kehadiran gereja di tengah tengah suku Toraja tidak dapat dikatakan sebentar. Faktanya, gereja bukan saja telah lama hadir diantara masyarakat suku Toraja, tetapi juga sekaligus menjadikan masyarakat Toraja sebagai mayoritas penganut Kristen Protestan. Seharusnya fakta ini memberikan perubahan signifikan didalam pola pola hidup masyarakat suku Toraja. Tetapi jika ternyata sampai pada hari ini konsep berfikir umumnya orang Toraja Kristen masih demikian kuat dipengaruhi oleh konsepsi budaya Rambu Solo’, maka jelaslah bahwa gereja memang tidak tegas dan kehilangan kuasa kenabiannya untuk menindak semua tindak kompromi ini. 

3.      Jika Harus Dilaksanakan, Rambu Solo’ Harus Dipandang Khusus Hanya Dalam Batasan Kekayaan Budaya, Bukan Lagi Sebuah Ritual Yang Mengikat.
Melihat dua kesimpulan di atas, sangat wajar jika memunculkan pertanyaan, apakah dengan demikian maka orang Toraja seharusnya terputus secara total dari pratik praktik budaya Rambu Solo’? Jawaban kami, mungkin tidak harus demikian. Bagaimanapun juga, hal hal apa yang secara umum dapat memberikan dampak positif bagi nilai nilai kesukuan Toraja, tentu saja masih dapat dipertahankan. Tetapi apa yang dapat dilakukan untuk menegaskan eksistensi original dari Kekristenan, harus dilakukan. Antara lain, tidak mempermaslahkan cara penguburan, tidak mengharuskan pemotongan kerbau dan tidak mengharuskan persemayaman di tongkonan. Pendek kata, kalau hal ini memang masih perlu dilakukan, lakukanlah tidak dalam arti sebuah ritual yang mengikat. Nilai ritualitasnya harus diminimalisir sedemikian rupa sampai semua nilai nilai keharusannya tidak menjadi begitu penting tatkala hal itu secara terang terangan berlawanan dengan ajaran Alkitab. Paling tidak, lakukanlah hal itu dalam batasan sekadar sebuah kekayaan budaya yang sedikitnya dari hal itu nilai ketorajaannya masih bisa terlihat.
             
DAFTAR PUSTAKA
SUMBER BUKU
Sarira,Y.A. Aluk Rambu Solo’ dan Persepsi Orang Kristen Terhadap Rambu Solo’. Toraja: Pusbang Gereja Toraja, 1996.
Ensiklopedia Nasional Indonesia, jilid 14. Jakarta. PT Cipta Abdi Pustaka,1991.
Calvin, Jhon. Commentaries The First Book of Moses: GENESIS. Grand Rapid: Baker Book, 1979.
Westermann, Claus. GENESIS. Grand Rapids: W.B Eermands, 1987.

Morris, Leon. The Gospel According to St. Luke. Grandrapids: W. Eerdmans, 1975.

Tong, Stephen. Dosa dan Kebudayaan. Surabaya: Momentum, 2009.

End, Th.van den. Surat Roma. Jakarta: BPK, 1997.

Ryle, J.C. Expository Thoughts on  John. Edinburg: The Banner, 1989.

Barclay, William. The Gospel of John Vol2. Philadelphia: Wesminster Press, 1975.

Bruce,F.F. Tyndale New Testamen Comentaries: ROMA. Grand Rapid: Eerdmans, 1990.

Haenchen, Ernst. Hermeneia: John vol 1. Philadelphia, Fortress Press, 1980.


SUMBER INTERNET

www.jpnn.com

Faktaunik.wordpress.com


www. Jurnalmahasiawa.filsafat.ugm.ac.id

www.kidnesia.com

rumahadat.blog.com

vaniariayanti.blogspot.com

Majalah.tempointeraktif.com






















3 komentar:

  1. Terima kasih pencerahannya.TYM

    BalasHapus
  2. Saya selalu berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan peminjam yang meminjamkan uang tanpa membayar terlebih dahulu.

    Jika Anda mencari pinjaman, perusahaan ini adalah semua yang Anda butuhkan. setiap perusahaan yang meminta Anda untuk biaya pendaftaran lari dari mereka.

    saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS. yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah SUZAN INVESTMENT COMPANY. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir Rp35 juta di tangan pemberi pinjaman palsu.

    Pembayaran yang fleksibel,
    Suku bunga rendah,
    Layanan berkualitas,
    Komisi Tinggi jika Anda memperkenalkan pelanggan

    Hubungi perusahaan: (Suzaninvestment@gmail.com)

    Email pribadi saya: (Ammisha1213@gmail.com)

    BalasHapus
  3. Terlarangnya kebo bule, https://amarmaruf-nahimungkar.blogspot.com/2019/01/ngelap-berkah-dari-kebo-bule-kyai.html

    BalasHapus