Translate

Jumat, 21 Maret 2014

Baptisan Anak Menurut Pandangan Reformed

BAPTISAN ANAK MENERUT PANDANGAN REFORMED
By: Astri Kristiani

PENDAHULUAN

Baptisan merupakan salah satu sakramen yang dilaksanakan oleh seluruh gereja disepanjang sejarah gereja. Walaupun seluruh gereja melaksanakan sakramen baptisan, tetapi didalam  setiap warna gereja mempunyai pandangan yang berbeda – beda mengenahi sakramen baptisan. Pandangan yang berbeda – beda tersebut salah satu contohnya adalah pandangan mengenahi siapakah yang bisa dibaptiskan, hanya orang dewasa yang bisa mengakui Iman mereka atau anak – anak maupun orang dewasa yang bisa dibaptiskan.
Secara khusus mengenahi baptisan kepada anak – anak menjadi suatu perdebatan antara gereja – gereja yang melaksanakan baptisan anak dengan gereja yang menolak melaksanakan baptisan anak. Masing – masing gereja, baik yang melaksanakan maupun yang menolak melaksanakan baptisan anak mempunyai argumen masing – masing yang kuat. Didalam pengajaran teologi Reform, sakramen baptisan anak dilaksanakan karena hal ini dikaitkan dengan konsep teologi kovenan (teologi perjanjian), yaitu bahwa anak – anak adalah merupakan anggota dalam kerajaan Allah walaupun mereka belum bisa mengungkapkan iman mereka secara personal karena mereka sudah terikat dalam perjanjian Allah. Konsep ini dipegang oleh gereja yang mempercayai bahwa anak – anak dari orang – orang percaya yang telah mendapatkan perjanjian yang sama dengan orang tuanya yang percaya bahwa mereka akan mendapatkan bagian dalam  dalam keselamatan yang dijanjikan Allah kepada Abraham dan seluruh keturunannya. Namun dalam konsep teologi lain memandang bahwa baptisan anak merupakan baptisan yang tidak beraturan dan baptisan kepada anak – anak dipandang sebagai paksaan untuk percaya kepada iman orangtuanya secara tidak langsung karena anak – anak belum mengerti sesungguhnya apa itu iman.
Dalam paper ini akan membahas khusus mengenahi pengajaran teologi reform tentang baptisan anak secara lebih luas tetapi terbatas dan tanggapan terhadapnya dilihat dari sudut pandang dimana ada pertentangan mengenahi pengajaran baptisan anak.


ISI

A.    Definisi
Sebelum lebih jauh mendiskripsikan tentang sakramen baptisan, perlu diketahui terlebih dahulu apa sesungguhnya yang dimaksud dengan sakramen. Menurut ajaran teologi reform, sakramen didefinisikan sebagai berikut:
Suatu tanda dan materai yang ditentukan Tuhan Allah untuk menandakan dan memateraikan janji – janjiNya di dalam Injil, yaitu bahwa karena korban Kristus kita orang beriman mendapatkan keampunan dosa dan hidup yang kekal[1].

Dari definisi tentang sakramen diatas, terdapat dua kata kunci dari sakramen itu sendiri, yaitu bahwa sakramen adalah “tanda” dan “materai”. Arti dari dua kata kunci yang menunjukkan definisi sakramen tersebut adalah sebagai berikut:[2]
Tanda         :    Yang dimaksudkan dengan tanda adalah bahwa apa yang diwujudkan didalam sakramen itu menunjuk pada perkara yang lain atau dengan kata lain bahwa sakramen adalah menggambarkan atau mengibaratkan perkara yang lain. Yang digambarkan atau diibaratkan didalam sakramen adalah janji – janji Allah yang disebutkan didalam Injil, yaitu bahwa karena korban Kristus dikayu salib, orang yang beriman, mendapat keampunan dosa dan hidup yang kekal.
Materai       :    Suatu yang dipakai untuk meneguhkan atau untuk menyatakan kemurniannya sehingga dapat dipercaya.
Jadi dari penjabaran arti tentang sakramen diatas bisa disimpulkan bahwa sakramen adalah suatu tanda lahiriah yang dipakai sebagai alat Tuhan untuk meneguhkan janji – janjiNya kepada umatNya.
Sedangkan yang dimaksud dengan “baptisan” adalah berarti “menyelupkan”[3] atau “memasukkan”. Jadi dihubungkan dengan definisi sakramen yang telah dijabarkan maka didapatkan arti dari sakramen baptisan adalah suatu tindakan untuk memberikan tanda dan materai bahwa seseorang diselupkan atau dimasukkan didalam nama Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus untuk bisa masuk dalam karya penyelamatan Allah Tritunggal. Secara ringkas pelaksanaan sakramen baptisan ditujukan agar seseorang yang mendapatkan baptisan dipersatukan dengan Kristus dan bagian – bagian tubuhNya.
 
B.     Dasar Alkitabiah Tentang Baptisan Anak
Teologi reformed memandang bahwa baptisan anak adalah baptisan yang Alkitabiah dan bisa dilaksanakan dalam sakramen gereja. Dalam teologi ini memandang bahwa baptisan anak – anak adalah baptisan yang bisa dilakukan karena berhubungan dengan perjanjian kekal yang diberikan Allah kepada umatNya. Teologi reformed mengajarkan tentang baptisan anak dengan dasar – dasar pemahaman mengenahi baptisan sebagai berikut:
B.1. Baptisan merupakan sebuah tanda dan materai perjanjian
Baptisan harus dilihat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana penyelamatan Ilahi dimana Allah memberikan janji keselamatan bagi umatNya dan keturunan umatNya. Baptisan merupakan suatu tanda dan materai perjanjian antara Allah dengan UmatNya dan keturunan umatNya. Baptisan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan perjanjian Agung Allah yang ada dalam PL, yaitu perjanjian Allah dengan Abraham.
Perjanjian Allah terhadap Abraham merupakan sebuah perjanjian spiritual, maksudnya adalah ketika Allah mengadakan perjanjian terhadap Abraham seperti yang tercatat dalam Kejadian 17: 7 dengan mengatakan bahwa; “Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu turun temurun menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu dan Allah keturunanmu”. Pada saat itu Allah perjanjian Allah denga Abraham dimateraikan dengan sunat, dan Allah memerintahkan Abraham untuk mensunatkan anak – anak pada usia delapan hari untuk dikuduskan  dari dunia ini sebagai orang yang berbagian dalam seluruh berkat perjanjian Abraham[4].
Perjanjian Abraham didalam PL yang ditandai dan dimateraikan dengan sunat secara lahiriah telah digenapi dalam PB oleh Yesus Kristus dengan sunat secara rohani. Dalam ajaran PB ada dua garis mengenahi sunat. Pertama adalah makna rohani dimana Paulus  dalam Kolose 2:13 menyamakan kematian dalam pelanggaran-pelanggaran dengan keadaan tidak bersunat, yaitu tanpa pengetahuan akan karya pembaharuan Allah. Abraham telah dihidupkan Allah masuk ke dalam hidup baru yang telah dijanjikan Allah dan menjadi manusia baru (Kejadian 17). Namun didalam PB juga berkata mengenahi hal – hal yang mengarah pada sunat, namun dengan pengertian yang baru dimana Paulus berkata bahwa orang Kristen yang mengenal karya Allah yang menghidupkan oleh Roh Kudus, adalah sunat itu, yaitu sunat yang telah dipenuhi oleh Yesus Kristus. Kedua adalah makna sunat dalam perjanjian Abraham mempunyai makna yang sama dengan makna baptisan bagi orang Kristen. Hal itu tersirat dalam penggunaan kata “meterai”. Dalam Roma 4:11 sunat disebut meterai, dan dalam 2 Kor 1:21, 22 dan Efesus 1:13 kata yang sama mungkin menunjuk pada baptisan, suatu tafsiran berdasarkan kata “diurapi” dalam 2 Kor 1:21 dan atas urutan kata “mendengarkan”, “percaya”, dan “dimeteraikan” dalam Efesus 1:13; “mendengarkan...menjadi percaya dan dibaptis”.
Hubungan antara sunat dan baptisan diterangkan secara khusus dalam Kolose 2:11,12. Orang Kristen menerima kenyataan yang digambarkan oleh sunat. Kenyataan ini disebut “sunat dalam Dia”, yang dimaksud dengan “sunat didalam Dia” adalah sunat yang bersifat rohani, yaitu sunat yang dilakukan bukan dengan tangan dan buahnya menyeluruh, mengenai tubuh dan daging. Sunat secara rohani tersebut terjadi dengan baptisan, yaitu yang membawa mereka ke dalam hubungan yang hidup dengan kematian dan kebangkitan Kristus yang diterima oleh kepercayaan kepada kerja kuasa Allah. Dengan demikian, bisa dikatakan pula bahwa baptisan adalah pintu masuk ke dalam perjanjian dan diajarkan sedemikian rupa untuk menyatakan kesatuan perbuatan-perbuatan Allah dalam perjanjian-Nya.
Perjanjian Allah dengan Abraham merupakan perjanjian dalam masa PL yang ditandai dan dimateraikan dengan sunat secara lahiriah, namun karena sunat telah digenapi oleh Yesus Kristus secara rohani, maka pada masa PB sunat diganti dengan baptisan. Perjanjian Allah dengan Abraham adalah kekal (Kejadian 17:7) hal tersebut menunjukkan bahwa perjanjian tersebut tidak pernah berhenti dan akan terus berlanjut pada semua keturunannya. Keturunan yang dimaksudkan dalam Perjanjian Lama adalah keturunan secara natural, karena pada saat itu ditandai dengan sunat yang secara lahiriah. Namun didalam Perjanjian Baru seperti yang disampaikan Rasul Pulus dalam Galatia pasal 3 yang menyebutkan bahwa orang – orang yang percaya kepada Kristus sesungguhnya merupakan bagian dari keturunan Abraham, yang dimaksud dalam hal ini adalah keturuan secara spiritual dan merupakan bagian dari keturunan yang berhak mendapatkan janji Allah, dan dalam Perjanjian Baru perjanjian ini ditandai dan dimateraikan dengan baptisan.
Jadi dalam hal ini nampak bahwa perjanjian Allah dengan Abraham merupakan perjanjian yang berlaku tidak hanya kepada Abraham secara pribadi dan keturunannya secara lahirian tetapi juga kepada keturunannya secara rohani, yaitu dalam Perjanjian Baru disebutkan sebagai orang – orang yang percaya kepada Kristus. Jadi dalam hal ini juga berlaku pada Perjanjian Baru bahwa perjanjian Allah yang diberikan kepada orang – orang percaya juga tidak berlaku kepada dirinya sendiri tetapi juga keturunannya selama keturunannya belum bisa mengakui dengan sadar akan kepercayaannya, tetapi melalui iman kedua orang tuanya mereka juga mendapatkan bagian yang sama dalam perjanjian Allah.



B.2. Baptisan Merupakan Pernyataan Dasar Pengakuan Iman
Maksud dari pernyataan dasar dari pengakuan Iman adalah bahwa anak – anak dari orang tua yang percaya mendapatkan hak yang sama untuk dibaptiskan dan dimateraikan dengan tanda dari perjanjian anatara Allah dengan umatNya, sebagaimana dulu anak – anak Israel disunat untuk janji yang sama yang dibuat untuk anak  - anak. Didalam Katekismus Heidelberg minggu ke 27, yaitu menjawab tentang apakah anak – anak kecil harus dibabtiskan jawabnya adalah sebagai berikut:
“Ya, oleh karena seperti orang-orang dewasa, mereka juga termasuk ke dalam perjanjian Allah dan menjadi anggota jemaatNya (Kej 17:7), dan oleh karena seperti kepada orang dewasa (Kis 2:39) dijanjikan pula kepada mereka penebusan dari dosa oleh darah Kristus serta Roh Kudus yang menimbulkan iman dalam hati mereka (Mat 19:14), maka atas dasar baptisan, yaitu perjanjian itu, mereka juga harus dimasukkan dalam Gereja Kristen, dan dibedakan dari anak-anak orang yang tidak percaya (Kis 10:47), sebagaimana dilakukan dalam Perjanjian Lama atas dasar penyunatan (Kej 17:12,13), yang dalam Perjanjian Baru diganti dengan baptisan (Kol 2:11-13).”[5]

Dari kutipan diatas dapat dimengerti bahwa baptisan terhadap anak – anak merupakan cara dimana anak – anak dari orang – orang percaya atau yang telah diserahkan untuk dibabtis “dipisahkan” dari dunia supaya jalan menuju pengakuan Iman mereka yang sejati dimana yang akan diungkapkan secara pribadi ketika mereka dewasa dan sudah bisa menyadari benar akan iman itu terbuka lebih lebar. Baptisan terhadap anak – anak merupakan cara dimana anak – anak dari orang – orang yang percaya yang telah dibaptiskan merupakan anak – anak yang dimasukkan menjadi bagian dari tubuh Kristus, yang menyatu dengan Kristus dan bagian – bagian tubuh Kristus yang lainnya.


C.     Tanggapan Terhadap Baptisan Anak
Dalam kaitannya dengan baptisan anak, Teologi Reform sangat konsisten terhadap pemahaman tentang “sola gratia” atau “only by grace” atau “hanya oleh anugrah” bahwa  seseorang diselamatkan hanya karena anugrah dari Allah dan tidak ada campur tangan manusia, pengakuan Iman dari manusia secara pribadipun tidak akan membawa kepada pemberian anugrah keselamatan. Keselamatan hanya dikerjakan oleh Allah sendiri, yang telah ditetapkan dari semula sebelum manusia dijadikan menjadi manusia dan dilahirkan menjadi manusia. Jadi letak keselamatan bukan dari awal pengakuan Iman, melainkan dari penetapan Allah sendiri. Oleh sebab itu Teologi Reform mempunyai alasan yang cukup kuat dan sangat Alkitabiah terhadap pelaksanaan baptisan anak.
Teologi reform berdiri dalam posisi yang melegalkan baptisan anak dengan dasar penafsiran yang berhubungan dengan teologi kovenan mendapatkan pertentangan yang luar biasa dari kaum baptis (Believer Baptism). Baptisan kepada anak – anak adalah menjadi perdebatan tidak henti – hentinya dan tidak juga mendapatkan titik temunya antara kelompok yang menyetujui baptisan anak dan kelompok yang menolak baptisan anak, salah satu contohnya kaum baptis (believer baptism). Kaum baptis sangat menentang baptisan anak, mereka memandang bahwa anak – anak tidak boleh berada dalam sakramen baptisan, maksudnya mereka tidak mendapatkan hak dalam baptisan karena mereka belum bisa mengakui percaya kepada Yesus Kristus. Seperti yang diungkapkan oleh tokoh baptis Dr. Hovey, yaitu bahwa hanya orang percaya dalam Kristuslah yang berhak menerima baptisan dan hanya mereka yang dapat menunjukkan bukti yang diterima bahwa mereka beriman dalam Kristus saja yang boleh dibaptiskan[6].
Dari pernyataan Dr. Hovey yang mewakili golongan yang sangat menentang baptisan anak menunjukkan adanya sebuah diskriminasi terhadap anak dan hal ini sesungguhnya membatasi anugrah Allah dan sesungguhnya secara implisit menentang konsep bahwa keselamatan karena anugrah dan bukan karena ritual atau usaha yang dilakukan manusia. Kaum baptis (believer baptism) memahami konsep keselamatan dikaitkan erat dengan adanya pengakuan secara lahiriah akan Iman, oleh sebab itu anak – anak yang belum bisa mengakui Iman mereka secara lahiriah belum bisa dikategorikan sebagai seseorang yang diselamatkan dan sesungguhnya hal ini sangat bertentangan dengan konsep bahwa keselamatan hanya anugrah “only by grace”.
Teologi Reform mengajarkan dan menerapkan tentang baptisan anak walaupun mengalami pertentangan dengan pandangan kaum baptis (believer baptism). Teologi Reform  memandang bahwa baptisan anak merupakan sebuah sakramen yang harus dilaksanakan karena memandang bahwa baptisan merupakan sebuah tanda dan materai dari sesuatu yang didalam dan tidak kelihatan, dimana allah bekerja didalam kita yang tidak kelihatan dengan kuasa Roh Kudus, baptisan meyakinkan kita akan janji – janji Allah.[7] Oleh sebab itu anak – anak yang walaupun secara pesonal belum bisa memberi pengakuan atas kepercayaan mereka, mereka juga mendapatkan bagian dalam perjanjian karena iman yang dimiliki orang tuanya.
Kaum baptis (believer baptism) sangat menentang baptisan anak karena mereka memandang bahwa baptisan anak – anak sesungguhnya bukanlah baptisan atau dipandang sebagai baptisan yang tidak beraturan[8] ini sebagai dimana mereka memandang bahwa sakramen baptisan kepada anak – anak adalah semacam paksaan untuk percaya kepada iman orangtuanya secara tidak langsung karena anak – anak belum mengerti sesungguhnya apa itu iman. Oleh sebab itu kaum baptis memandang sangat ekstrim terhadap baptisan anak, mereka memandang bahwa ini adalah sebuah tindakan kejahatan.
Baptisan yang dikaitkan dengan konsep keselamatan adalah baptisan yang tidak Alkitabiah, karena dalam hal ini anugrah keselamatan dari Allah terbatasi oleh konsep manusia yang hanya menekankan pada ritual/ sakramen secara lahiriah saja, padahal keselamatan dari Allah bersifat rohani dan hanya karena anugrah Allah saja dan tidak bisa diidentikkan dengan ritual – ritual lahiriah seperti baptisan. Jadi dalam hal ini kita tidak bisa memandang bahwa anak – anak tidak layak menerima baptisan karena baptisan hanyalah simbul dan materai saja yang secara lahiriah, bukan rohani. Yang rohani yang mengetahui hanya Allah saja. Dalam hal ini teologi reform telah mengambil posisi yang tepat.
Teologi Reform mempunyai argumen yang cukup kuat untuk mempertahankan pelaksanaan baptisan anak. Dibanyak sisi saya menyetujui konsep dasar pemikiran teologi reform terhadap baptisan anak, tetapi perlu diketahui bahwa dalam Alkitab tidak ditemui perintah secara langsung mengenahi baptisan terhadap anak – anak atau baptisan terhadap orang dewasa (mereka yang sudah bisa mengakui Iman mereka secara pribadi). Oleh sebab itu terlalu berlebihan jika mengenahi baptisan ini, yaitu secara khusus baptisan terhadap anak atau baptisan terhadap orang dewasa dijadikan perdebatan yang tak henti – henti dan bahkan memandang pemahaman mengenahi baptisan yang lain lebih rendah dari pada pemahaman mengenahi baptisan yang dipegang sendiri.



KESIMPULAN

Pengajaran Teologi reformed tentang baptisan anak adalah bahwa baptisan anak merupakan baptisan yang Alkitabiah dan bisa dilaksanakan dalam sakramen gereja dengan dasar – dasar pemahaman bahwa baptisan merupakan sebuah tanda dan materai perjanjian antara Allah dengan umatNya dimana dalam hal ini dikaitkan dengan perjanjian Allah dengan Abraham yang  merupakan perjanjian dalam masa PL yang ditandai dan dimateraikan dengan sunat secara lahiriah, namun karena sunat telah digenapi oleh Yesus Kristus secara rohani, maka pada masa PB sunat diganti dengan baptisan.
Disamping itu menurut teologi reformed baptisan anak juga merupakan pernyataan dasar dari pengakuan Iman yang maksudnya adalah bahwa anak – anak dari orang tua yang percaya mendapatkan hak yang sama untuk dibaptiskan dan dimateraikan dengan tanda dari perjanjian anatara Allah dengan umatNya, supaya anak – anak dari orang – orang percaya atau yang telah diserahkan untuk dibaptis “dipisahkan” dari dunia dan dibimbing orang tuanya kearah Iman yang benar supaya jalan menuju pengakuan Iman mereka yang sejati dimana yang akan diungkapkan secara pribadi ketika mereka dewasa dan sudah bisa menyadari benar akan iman itu terbuka lebih lebar.
Pengajaran teologi reformed tentang baptisan anak mendapatkan pertentangan dari kelompok yang tidak menerima baptisan anak, salah satu contohnya adalah kelompok baptis (believer baptism). Namun dalam kaitannya dengan baptisan anak, teologi reformed sangat konsisten terhadap pemahaman tentang “sola gratia” dimana seseorang diselamatkan hanya karena anugrah dari Allah dan tidak ada campur tangan manusia, keselamatan hanya dikerjakan oleh Allah sendiri. Sedangkan ajaran bahwa baptisan bisa dilakukan setelah adanya pengakuan Iman secara personal sesungguhnya akan terjatuh dalam pembatasan akan anugrah Allah, keselamatan dari Allah terbatasi oleh konsep manusia yang hanya menekankan pada pengakuan iman secara lahiriah saja, padahal keselamatan dari Allah bersifat rohani.




[1] Harun Hadiwijono. Iman Kristen. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991). 428.
[2] Ibid.429.
[3] Ibid. 438.
[4] Robert G. Rayburn. Apa Itu Baptisan?. (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1991). 68.
[5] G.J. Baan. TULIP. (Surabaya: Momentum, 2010). 205.
[6] Louis Berkhof. Teologi Sistematika 5: Doktrin Gereja. (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 2008). 153.
[7]Paul, Enns. The Moody Handbook Of Theology. (Malang: Literatur SAAT, 2008). 452.
[8] J.I.Packer. Kristen Sejati. (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1992). 37.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar