BAPTISAN ANAK MENERUT PANDANGAN REFORMED
By: Astri Kristiani
PENDAHULUAN
Baptisan
merupakan salah satu sakramen yang dilaksanakan oleh seluruh gereja disepanjang
sejarah gereja. Walaupun seluruh gereja melaksanakan sakramen baptisan, tetapi
didalam setiap warna gereja mempunyai
pandangan yang berbeda – beda mengenahi sakramen baptisan. Pandangan yang
berbeda – beda tersebut salah satu contohnya adalah pandangan mengenahi siapakah
yang bisa dibaptiskan, hanya orang dewasa yang bisa mengakui Iman mereka atau
anak – anak maupun orang dewasa yang bisa dibaptiskan.
Secara
khusus mengenahi baptisan kepada anak – anak menjadi suatu perdebatan antara
gereja – gereja yang melaksanakan baptisan anak dengan gereja yang menolak
melaksanakan baptisan anak. Masing – masing gereja, baik yang melaksanakan
maupun yang menolak melaksanakan baptisan anak mempunyai argumen masing –
masing yang kuat. Didalam pengajaran teologi Reform, sakramen baptisan anak dilaksanakan
karena hal ini dikaitkan dengan konsep teologi kovenan (teologi perjanjian),
yaitu bahwa anak – anak adalah merupakan anggota dalam kerajaan Allah walaupun
mereka belum bisa mengungkapkan iman mereka secara personal karena mereka sudah
terikat dalam perjanjian Allah. Konsep ini dipegang oleh gereja yang mempercayai
bahwa anak – anak dari orang – orang percaya yang telah mendapatkan perjanjian
yang sama dengan orang tuanya yang percaya bahwa mereka akan mendapatkan bagian
dalam dalam keselamatan yang dijanjikan
Allah kepada Abraham dan seluruh keturunannya. Namun dalam konsep teologi lain
memandang bahwa baptisan anak merupakan baptisan yang tidak beraturan dan
baptisan kepada anak – anak dipandang sebagai paksaan untuk percaya kepada iman
orangtuanya secara tidak langsung karena anak – anak belum mengerti
sesungguhnya apa itu iman.
Dalam
paper ini akan membahas khusus mengenahi pengajaran teologi reform tentang
baptisan anak secara lebih luas tetapi terbatas dan tanggapan terhadapnya
dilihat dari sudut pandang dimana ada pertentangan mengenahi pengajaran
baptisan anak.
ISI
A. Definisi
Sebelum lebih jauh mendiskripsikan
tentang sakramen baptisan, perlu diketahui terlebih dahulu apa sesungguhnya
yang dimaksud dengan sakramen. Menurut ajaran teologi reform, sakramen
didefinisikan sebagai berikut:
Suatu
tanda dan materai yang ditentukan Tuhan Allah untuk menandakan dan memateraikan
janji – janjiNya di dalam Injil, yaitu bahwa karena korban Kristus kita orang
beriman mendapatkan keampunan dosa dan hidup yang kekal[1].
Dari
definisi tentang sakramen diatas, terdapat dua kata kunci dari sakramen itu
sendiri, yaitu bahwa sakramen adalah “tanda” dan “materai”. Arti dari dua kata
kunci yang menunjukkan definisi sakramen tersebut adalah sebagai berikut:[2]
Tanda : Yang
dimaksudkan dengan tanda adalah bahwa apa yang diwujudkan didalam sakramen itu
menunjuk pada perkara yang lain atau dengan kata lain bahwa sakramen adalah menggambarkan
atau mengibaratkan perkara yang lain. Yang digambarkan atau diibaratkan didalam
sakramen adalah janji – janji Allah yang disebutkan didalam Injil, yaitu bahwa
karena korban Kristus dikayu salib, orang yang beriman, mendapat keampunan dosa
dan hidup yang kekal.
Materai : Suatu
yang dipakai untuk meneguhkan atau untuk menyatakan kemurniannya sehingga dapat
dipercaya.
Jadi
dari penjabaran arti tentang sakramen diatas bisa disimpulkan bahwa sakramen
adalah suatu tanda lahiriah yang dipakai sebagai alat Tuhan untuk meneguhkan
janji – janjiNya kepada umatNya.
Sedangkan yang dimaksud dengan
“baptisan” adalah berarti “menyelupkan”[3]
atau “memasukkan”. Jadi dihubungkan dengan definisi sakramen yang telah dijabarkan
maka didapatkan arti dari sakramen baptisan adalah suatu tindakan untuk
memberikan tanda dan materai bahwa seseorang diselupkan atau dimasukkan didalam
nama Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus untuk bisa masuk dalam karya penyelamatan
Allah Tritunggal. Secara ringkas pelaksanaan sakramen baptisan ditujukan agar
seseorang yang mendapatkan baptisan dipersatukan dengan Kristus dan bagian –
bagian tubuhNya.
B. Dasar
Alkitabiah Tentang Baptisan Anak
Teologi reformed memandang bahwa
baptisan anak adalah baptisan yang Alkitabiah dan bisa dilaksanakan dalam
sakramen gereja. Dalam teologi ini memandang bahwa baptisan anak – anak adalah
baptisan yang bisa dilakukan karena berhubungan dengan perjanjian kekal yang
diberikan Allah kepada umatNya. Teologi reformed mengajarkan tentang baptisan
anak dengan dasar – dasar pemahaman mengenahi baptisan sebagai berikut:
B.1.
Baptisan merupakan sebuah tanda dan materai perjanjian
Baptisan harus dilihat sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dari rencana penyelamatan Ilahi dimana Allah memberikan janji
keselamatan bagi umatNya dan keturunan umatNya. Baptisan merupakan suatu tanda
dan materai perjanjian antara Allah dengan UmatNya dan keturunan umatNya.
Baptisan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan perjanjian Agung Allah yang
ada dalam PL, yaitu perjanjian Allah dengan Abraham.
Perjanjian Allah terhadap Abraham
merupakan sebuah perjanjian spiritual, maksudnya adalah ketika Allah mengadakan
perjanjian terhadap Abraham seperti yang tercatat dalam Kejadian 17: 7 dengan
mengatakan bahwa; “Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta
keturunanmu turun temurun menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi
Allahmu dan Allah keturunanmu”. Pada saat itu Allah perjanjian Allah denga
Abraham dimateraikan dengan sunat, dan Allah memerintahkan Abraham untuk
mensunatkan anak – anak pada usia delapan hari untuk dikuduskan dari dunia ini sebagai orang yang berbagian
dalam seluruh berkat perjanjian Abraham[4].
Perjanjian Abraham didalam PL yang
ditandai dan dimateraikan dengan sunat secara lahiriah telah digenapi dalam PB
oleh Yesus Kristus dengan sunat secara rohani. Dalam ajaran PB ada dua garis
mengenahi sunat. Pertama adalah makna rohani dimana Paulus dalam Kolose 2:13 menyamakan kematian dalam
pelanggaran-pelanggaran dengan keadaan tidak bersunat, yaitu tanpa pengetahuan
akan karya pembaharuan Allah. Abraham telah dihidupkan Allah masuk ke dalam
hidup baru yang telah dijanjikan Allah dan menjadi manusia baru (Kejadian 17). Namun
didalam PB juga berkata mengenahi hal – hal yang mengarah pada sunat, namun
dengan pengertian yang baru dimana Paulus berkata bahwa orang Kristen yang
mengenal karya Allah yang menghidupkan oleh Roh Kudus, adalah sunat itu, yaitu
sunat yang telah dipenuhi oleh Yesus Kristus. Kedua adalah makna sunat dalam
perjanjian Abraham mempunyai makna yang sama dengan makna baptisan bagi orang
Kristen. Hal itu tersirat dalam penggunaan kata “meterai”. Dalam Roma 4:11
sunat disebut meterai, dan dalam 2 Kor 1:21, 22 dan Efesus 1:13 kata yang sama
mungkin menunjuk pada baptisan, suatu tafsiran berdasarkan kata “diurapi” dalam
2 Kor 1:21 dan atas urutan kata “mendengarkan”, “percaya”, dan “dimeteraikan”
dalam Efesus 1:13; “mendengarkan...menjadi percaya dan dibaptis”.
Hubungan antara sunat dan baptisan diterangkan
secara khusus dalam Kolose 2:11,12. Orang Kristen menerima kenyataan yang
digambarkan oleh sunat. Kenyataan ini disebut “sunat dalam Dia”, yang dimaksud
dengan “sunat didalam Dia” adalah sunat yang bersifat rohani, yaitu sunat yang
dilakukan bukan dengan tangan dan buahnya menyeluruh, mengenai tubuh dan
daging. Sunat secara rohani tersebut terjadi dengan baptisan, yaitu yang
membawa mereka ke dalam hubungan yang hidup dengan kematian dan kebangkitan
Kristus yang diterima oleh kepercayaan kepada kerja kuasa Allah. Dengan
demikian, bisa dikatakan pula bahwa baptisan adalah pintu masuk ke dalam
perjanjian dan diajarkan sedemikian rupa untuk menyatakan kesatuan
perbuatan-perbuatan Allah dalam perjanjian-Nya.
Perjanjian Allah dengan Abraham
merupakan perjanjian dalam masa PL yang ditandai dan dimateraikan dengan sunat
secara lahiriah, namun karena sunat telah digenapi oleh Yesus Kristus secara
rohani, maka pada masa PB sunat diganti dengan baptisan. Perjanjian Allah
dengan Abraham adalah kekal (Kejadian 17:7) hal tersebut menunjukkan bahwa
perjanjian tersebut tidak pernah berhenti dan akan terus berlanjut pada semua
keturunannya. Keturunan yang dimaksudkan dalam Perjanjian Lama adalah keturunan
secara natural, karena pada saat itu ditandai dengan sunat yang secara lahiriah.
Namun didalam Perjanjian Baru seperti yang disampaikan Rasul Pulus dalam
Galatia pasal 3 yang menyebutkan bahwa orang – orang yang percaya kepada
Kristus sesungguhnya merupakan bagian dari keturunan Abraham, yang dimaksud
dalam hal ini adalah keturuan secara spiritual dan merupakan bagian dari
keturunan yang berhak mendapatkan janji Allah, dan dalam Perjanjian Baru
perjanjian ini ditandai dan dimateraikan dengan baptisan.
Jadi dalam hal ini nampak bahwa
perjanjian Allah dengan Abraham merupakan perjanjian yang berlaku tidak hanya
kepada Abraham secara pribadi dan keturunannya secara lahirian tetapi juga
kepada keturunannya secara rohani, yaitu dalam Perjanjian Baru disebutkan
sebagai orang – orang yang percaya kepada Kristus. Jadi dalam hal ini juga berlaku
pada Perjanjian Baru bahwa perjanjian Allah yang diberikan kepada orang – orang
percaya juga tidak berlaku kepada dirinya sendiri tetapi juga keturunannya
selama keturunannya belum bisa mengakui dengan sadar akan kepercayaannya,
tetapi melalui iman kedua orang tuanya mereka juga mendapatkan bagian yang sama
dalam perjanjian Allah.
B.2.
Baptisan Merupakan Pernyataan Dasar Pengakuan Iman
Maksud dari pernyataan dasar dari
pengakuan Iman adalah bahwa anak – anak dari orang tua yang percaya mendapatkan
hak yang sama untuk dibaptiskan dan dimateraikan dengan tanda dari perjanjian
anatara Allah dengan umatNya, sebagaimana dulu anak – anak Israel disunat untuk
janji yang sama yang dibuat untuk anak -
anak. Didalam Katekismus Heidelberg minggu ke 27, yaitu menjawab tentang apakah
anak – anak kecil harus dibabtiskan jawabnya adalah sebagai berikut:
“Ya,
oleh karena seperti orang-orang dewasa, mereka juga termasuk ke dalam
perjanjian Allah dan menjadi anggota jemaatNya (Kej 17:7), dan oleh karena seperti
kepada orang dewasa (Kis 2:39) dijanjikan pula kepada mereka penebusan dari
dosa oleh darah Kristus serta Roh Kudus yang menimbulkan iman dalam hati mereka
(Mat 19:14), maka atas dasar baptisan, yaitu perjanjian itu, mereka juga harus
dimasukkan dalam Gereja Kristen, dan dibedakan dari anak-anak orang yang tidak
percaya (Kis 10:47), sebagaimana dilakukan dalam Perjanjian Lama atas dasar
penyunatan (Kej 17:12,13), yang dalam Perjanjian Baru diganti dengan baptisan
(Kol 2:11-13).”[5]
Dari
kutipan diatas dapat dimengerti bahwa baptisan terhadap anak – anak merupakan
cara dimana anak – anak dari orang – orang percaya atau yang telah diserahkan
untuk dibabtis “dipisahkan” dari dunia supaya jalan menuju pengakuan Iman
mereka yang sejati dimana yang akan diungkapkan secara pribadi ketika mereka
dewasa dan sudah bisa menyadari benar akan iman itu terbuka lebih lebar. Baptisan
terhadap anak – anak merupakan cara dimana anak – anak dari orang – orang yang
percaya yang telah dibaptiskan merupakan anak – anak yang dimasukkan menjadi
bagian dari tubuh Kristus, yang menyatu dengan Kristus dan bagian – bagian
tubuh Kristus yang lainnya.
C. Tanggapan
Terhadap Baptisan Anak
Dalam kaitannya dengan baptisan anak,
Teologi Reform sangat konsisten terhadap pemahaman tentang “sola gratia” atau
“only by grace” atau “hanya oleh anugrah” bahwa
seseorang diselamatkan hanya karena anugrah dari Allah dan tidak ada
campur tangan manusia, pengakuan Iman dari manusia secara pribadipun tidak akan
membawa kepada pemberian anugrah keselamatan. Keselamatan hanya dikerjakan oleh
Allah sendiri, yang telah ditetapkan dari semula sebelum manusia dijadikan
menjadi manusia dan dilahirkan menjadi manusia. Jadi letak keselamatan bukan
dari awal pengakuan Iman, melainkan dari penetapan Allah sendiri. Oleh sebab
itu Teologi Reform mempunyai alasan yang cukup kuat dan sangat Alkitabiah
terhadap pelaksanaan baptisan anak.
Teologi reform berdiri dalam posisi yang
melegalkan baptisan anak dengan dasar penafsiran yang berhubungan dengan
teologi kovenan mendapatkan pertentangan yang luar biasa dari kaum baptis
(Believer Baptism). Baptisan kepada anak – anak adalah menjadi perdebatan tidak
henti – hentinya dan tidak juga mendapatkan titik temunya antara kelompok yang
menyetujui baptisan anak dan kelompok yang menolak baptisan anak, salah satu
contohnya kaum baptis (believer baptism). Kaum baptis sangat menentang baptisan
anak, mereka memandang bahwa anak – anak tidak boleh berada dalam sakramen
baptisan, maksudnya mereka tidak mendapatkan hak dalam baptisan karena mereka
belum bisa mengakui percaya kepada Yesus Kristus. Seperti yang diungkapkan oleh
tokoh baptis Dr. Hovey, yaitu bahwa hanya orang percaya dalam Kristuslah yang
berhak menerima baptisan dan hanya mereka yang dapat menunjukkan bukti yang
diterima bahwa mereka beriman dalam Kristus saja yang boleh dibaptiskan[6].
Dari pernyataan Dr. Hovey yang mewakili
golongan yang sangat menentang baptisan anak menunjukkan adanya sebuah
diskriminasi terhadap anak dan hal ini sesungguhnya membatasi anugrah Allah dan
sesungguhnya secara implisit menentang konsep bahwa keselamatan karena anugrah
dan bukan karena ritual atau usaha yang dilakukan manusia. Kaum baptis
(believer baptism) memahami konsep keselamatan dikaitkan erat dengan adanya
pengakuan secara lahiriah akan Iman, oleh sebab itu anak – anak yang belum bisa
mengakui Iman mereka secara lahiriah belum bisa dikategorikan sebagai seseorang
yang diselamatkan dan sesungguhnya hal ini sangat bertentangan dengan konsep
bahwa keselamatan hanya anugrah “only by grace”.
Teologi Reform mengajarkan dan
menerapkan tentang baptisan anak walaupun mengalami pertentangan dengan
pandangan kaum baptis (believer baptism). Teologi Reform memandang bahwa baptisan anak merupakan
sebuah sakramen yang harus dilaksanakan karena memandang bahwa baptisan
merupakan sebuah tanda dan materai dari sesuatu yang didalam dan tidak
kelihatan, dimana allah bekerja didalam kita yang tidak kelihatan dengan kuasa
Roh Kudus, baptisan meyakinkan kita akan janji – janji Allah.[7]
Oleh sebab itu anak – anak yang walaupun secara pesonal belum bisa memberi
pengakuan atas kepercayaan mereka, mereka juga mendapatkan bagian dalam
perjanjian karena iman yang dimiliki orang tuanya.
Kaum baptis (believer baptism) sangat
menentang baptisan anak karena mereka memandang bahwa baptisan anak – anak
sesungguhnya bukanlah baptisan atau dipandang sebagai baptisan yang tidak
beraturan[8]
ini sebagai dimana mereka memandang bahwa sakramen baptisan kepada anak – anak
adalah semacam paksaan untuk percaya kepada iman orangtuanya secara tidak langsung
karena anak – anak belum mengerti sesungguhnya apa itu iman. Oleh sebab itu
kaum baptis memandang sangat ekstrim terhadap baptisan anak, mereka memandang
bahwa ini adalah sebuah tindakan kejahatan.
Baptisan yang dikaitkan dengan konsep
keselamatan adalah baptisan yang tidak Alkitabiah, karena dalam hal ini anugrah
keselamatan dari Allah terbatasi oleh konsep manusia yang hanya menekankan pada
ritual/ sakramen secara lahiriah saja, padahal keselamatan dari Allah bersifat
rohani dan hanya karena anugrah Allah saja dan tidak bisa diidentikkan dengan
ritual – ritual lahiriah seperti baptisan. Jadi dalam hal ini kita tidak bisa
memandang bahwa anak – anak tidak layak menerima baptisan karena baptisan
hanyalah simbul dan materai saja yang secara lahiriah, bukan rohani. Yang
rohani yang mengetahui hanya Allah saja. Dalam hal ini teologi reform telah
mengambil posisi yang tepat.
Teologi Reform mempunyai argumen yang
cukup kuat untuk mempertahankan pelaksanaan baptisan anak. Dibanyak sisi saya
menyetujui konsep dasar pemikiran teologi reform terhadap baptisan anak, tetapi
perlu diketahui bahwa dalam Alkitab tidak ditemui perintah secara langsung
mengenahi baptisan terhadap anak – anak atau baptisan terhadap orang dewasa
(mereka yang sudah bisa mengakui Iman mereka secara pribadi). Oleh sebab itu
terlalu berlebihan jika mengenahi baptisan ini, yaitu secara khusus baptisan
terhadap anak atau baptisan terhadap orang dewasa dijadikan perdebatan yang tak
henti – henti dan bahkan memandang pemahaman mengenahi baptisan yang lain lebih
rendah dari pada pemahaman mengenahi baptisan yang dipegang sendiri.
KESIMPULAN
Pengajaran Teologi reformed tentang
baptisan anak adalah bahwa baptisan anak merupakan baptisan yang Alkitabiah dan
bisa dilaksanakan dalam sakramen gereja dengan dasar – dasar pemahaman bahwa
baptisan merupakan sebuah tanda dan materai perjanjian antara Allah dengan
umatNya dimana dalam hal ini dikaitkan dengan perjanjian Allah dengan Abraham
yang merupakan perjanjian dalam masa PL
yang ditandai dan dimateraikan dengan sunat secara lahiriah, namun karena sunat
telah digenapi oleh Yesus Kristus secara rohani, maka pada masa PB sunat
diganti dengan baptisan.
Disamping itu menurut teologi reformed
baptisan anak juga merupakan pernyataan dasar dari pengakuan Iman yang
maksudnya adalah bahwa anak – anak dari orang tua yang percaya mendapatkan hak
yang sama untuk dibaptiskan dan dimateraikan dengan tanda dari perjanjian
anatara Allah dengan umatNya, supaya anak – anak dari orang – orang percaya
atau yang telah diserahkan untuk dibaptis “dipisahkan” dari dunia dan dibimbing
orang tuanya kearah Iman yang benar supaya jalan menuju pengakuan Iman mereka
yang sejati dimana yang akan diungkapkan secara pribadi ketika mereka dewasa
dan sudah bisa menyadari benar akan iman itu terbuka lebih lebar.
Pengajaran teologi reformed tentang
baptisan anak mendapatkan pertentangan dari kelompok yang tidak menerima
baptisan anak, salah satu contohnya adalah kelompok baptis (believer baptism).
Namun dalam kaitannya dengan baptisan anak, teologi reformed sangat konsisten
terhadap pemahaman tentang “sola gratia” dimana seseorang diselamatkan hanya
karena anugrah dari Allah dan tidak ada campur tangan manusia, keselamatan
hanya dikerjakan oleh Allah sendiri. Sedangkan ajaran bahwa baptisan bisa
dilakukan setelah adanya pengakuan Iman secara personal sesungguhnya akan
terjatuh dalam pembatasan akan anugrah Allah, keselamatan dari Allah terbatasi
oleh konsep manusia yang hanya menekankan pada pengakuan iman secara lahiriah
saja, padahal keselamatan dari Allah bersifat rohani.
[1] Harun Hadiwijono. Iman Kristen. (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1991). 428.
[2]
Ibid.429.
[3] Ibid. 438.
[4] Robert G. Rayburn. Apa Itu Baptisan?. (Jakarta: Lembaga
Reformed Injili Indonesia, 1991). 68.
[5] G.J. Baan. TULIP. (Surabaya: Momentum, 2010). 205.
[6] Louis Berkhof. Teologi Sistematika 5: Doktrin Gereja.
(Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 2008). 153.
[7]Paul, Enns. The Moody Handbook Of Theology. (Malang:
Literatur SAAT, 2008). 452.
[8]
J.I.Packer. Kristen Sejati. (Jakarta:
Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1992). 37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar